Friday, August 24, 2007

Bang Uyunk, Your Spirit Carries on.


Neng, kamu itu itu seperti orang yang bingung mencari kebahagiaan kemana-mana. Padahal kamu itu seperti ikan di laut. Air laut itu kebahagiaanmu”.

(seperti yang dikatakan Bang Uyunk pada saya, satu tahun silam..)


Beberapa waktu lalu saya menulis ini pada sebuah pesan untuk seorang kawan. Dua hari setelahnya, saya akan benar-benar mengingat kata-kata bang Uyunk ini dalam hidup.

Sekira sudah lama tak bertemu, saya bersua kembali dengannya malam itu. Dengan ruh dan badan yang tidak menyatu. Dengan tubuh yang membujur kaku di ruang pemulasaran jenasah. Tinggi badannya terlampau tinggi hingga tempatnya berbaring tak cukup menampung sebagian kakinya. Kawan-kawannya sudah banyak berdatangan di rumah sakit tempatnya bersemayam. Sebagian yang saya kenal adalah orang-orang teater dan orang musik. Kebanyakan sebaya dengan saya. Istrinya, mbak Umi, sedang dijemput mas Pandu. Rasanya tidak akan kuat melihat kedatangan istrinya.

Sengaja saya duduk di dekat jenasahnya bersama Indiah, karena sebagian sedang termanggu di pelataran rumah sakit. Jenasah harus ditunggui, tukas Indiah. Hanya bisa termenung dan mata air yang ditahan-tahan. Sudah, sedih jangan diperturutkan, ujar kawan saya yang lain. Melihat mata sembab bang Uyunk ketika kain penutup dibuka, saya teringat Lazu, si anak semata wayang. Saya tahu betul, abang adalah jenis ayah yang sangat protektif, paranoid dan panikan terhadap anak. Mbak Ella, si artis lokal penyiar Geronimo kemudian bergabung di kursi panjang tempat kami duduk. Manusia yang satu ini memang nggak bisa diam. Di kesempatan itu, bahkan ia sempat bilang, gimana kalau jenasahnya tiba-tiba bangun, whuaaaa..., ujarnya dengan mimik muka tak berdosa. Dan akhirnya saya pun tertawa kecut karena juga melihat posisi kaki bang Uyunk yang berubah.

Ada sesuatu yang menampar saya telak hingga terjerembab melihat apa yang dibawa istrinya pada kedatangannya yang kami tunggu. Ia terlihat maskulin malam itu dengan jas kulit panjang warna cokelat, nampak cantik, pikirku. Saya pikir saya akan melihat drama penuh tangis dan berdarah-darah. Tetapi ia hanya membawa senyum. Ya, senyum yang paling sejuk yang pernah saya lihat. Senyum berlabel ikhlas di dalamnya. Legawa atas kematian suaminya. Seharusnya saat menghadapi kematian orang yang disayang, kita memang harus menyingkirkan sifat egois kita. Seharusnya yang ditinggal tidak boleh menambah beban yang meninggal dengan kesedihan yang berlebihan. Kita sedih karena kita ditinggal, bukan? Ini kondisi ideal buat saya, namun, pada ranah praksisnya, belum mampu diaplikasikan. Saya mungkin akan belajar banyak pada senyum istrinya. Walaupun begitu, ia tampak erat memegangi baju Firman ketika melihat raga suaminya. Membisikkan beberapa patah kata, dan kemudian memeluk tubuh abang.

Pertama kali saya mengenal Bang Uyunk ketika menonton pertunjukkan teater di sebuah perguruan tinggi di Jokja. Gondrong, terkesan dekil, dan wajah yang selalu tersenyum, itulah kesan pertama yang muncul saat berkenalan dengannya. Itu pula yang terlihat pada kepulangannya menuju baka. Beberapa hari kemudian ia diundang HIMMAH pada aksi Tragedi Mei 1998, tahun 2005, bersama Tim Nota Kosong-nya untuk main teater di perempatan Gramedia. Kenapa dinamai Tim Nota Kosong, sebab sering anggota teater ini dibayar dengan nota kosong alias gratis.


If I die tomorrow, I'd be all right
Because I believe, That after we're gone
The spirit carries on


Lagu Dream Theatre mengalun dari komputer mengiringi ketikan tangan ini. Ya, berharap abang disana akan baik-baik saja. Sengaja saya tidak ikut pemakamannya. Badan rasanya berontak ingin istirahat. Penyakitku muncul saat yang tak tepat. Di tidur siang itu, abang hanya mati suri dan bangun kembali seperti apa yang dikatakan mbak Ella. Dia membilang pada saya, di alam sana ia bahagia, ia senang bertemu Allah. Semoga mimpi itu terwujud.

Berharap juga semangatnya akan terus menghidupi orang-orang di lingkarannya. Seingat saya, Ia getol sekali mengajari anak-anak muda yang berhasrat dengan dunia teater dan musik. Ia berjuang dengan caranya. Tanpa banyak cakap. Saat meninggal pun ia sedang bermain band di sekitaran jalan Solo. Mencari nafkah untuk keluarga kecilnya. Saya pernah mendengar ceritanya tentang bagaimana ia pernah menjadi tukang bangunan, dan terakhir yang ia bilang pada saya, ia sedang kerja siang jadi pelayan di Kindai, jalan Gejayan dekat jembatan merah. Yang belum saya mengerti adalah pilihannya tentang hidup. Berasal dari keluarga kyai yang mapan di Kalimantan, tetapi ia memutuskan memilih sendiri kehidupan dan penghidupannya.

“Neng, kok cuma disenggol hp-nya?”, ujarnya melalui pesan pendek ketika saya hanya me-missed call ponselnya pada suatu malam. Kami pun ber-sms ria, pada malam terakhir kami berhubungan. Ia menanyakan alamat kost yang baru, pengen maen, katanya. Ah, abang. Ini pula yang pertama kali membuat saya menangis mendengar kabar kematianmu. Saya menyesal. Bang Uyunk selalu merangkul anak-anak muda untuk lebih memaknai hidup. Dengan berbagai cara. Begitu pula dengan apa yang saya rasakan. Ia sering mampir ke kost, untuk menyambung tali perkawanan. Tapi aku sering kecele, kamu jarang di kost, katanya. Pernah ia datang bertiga dengan mas Aan dan si kecil Lazu. Dengan vespa kuningnya. Mungkin anak-anak kost ngeri liat ada dua orang yang tinggi-tinggi, kurus, gondrong pula. Begitulah, inilah keegoisan saya. Saya terlalu asyik dengan dunia yang saya ciptakan sendiri. Terhitung, hanya sekali saya menyambangi rumah kecilnya yang asri. Berwarna cerah, kuning. Panorama didepan sangat indah, gunung Merapi. Saat itu diajak mbak Weka latihan musik dirumah abang. Mbak weka memegang biola, mas pandu piano, abang jambe, mas aan gitar kalau tidak salah, masih ada juga Awan dan satu orang lagi yang tidak saya kenal. Saya sendiri cuma bengong. Di rumahnya banyak sekali kasur. Kawan-kawan abang memang sering menginap dirumahnya. Saya ingat, bang uyunk juga sering mengajak mancing. Ya, memancing adalah kegemarannya yang lain. Seperti biasa, ajakannya hanya bisa saya iya-iyakan saja.

Kadang saya sering wadul dan sambat kalau si Lazu mulai mengata-ngatai saya dengan kejam. Dengan bijak pula bang Uyunk memarahi Lazu. Oya, oleh Lazu, saya di panggilnya bibi. Teman-teman lain juga dipanggilnya demikian. Pada bang uyunk saya pernah protes karenanya, ia kemudian berkata, masa mbak, apalagi tante? Ternyata itu bentuk penghormatannya dan Lazu untuk kawan-kawan abang. Ia tahu bagaimana menempatkan diri.


Move on, be brave, Don't weep at my grave
Because I am no longer here
But please never let
Your memory of me disappear

Mungkin kira-kira itulah yang ingin disampaikan. Dan orang-orang yang merasa ditinggalkan memang tidak seharusnya meratap atas sebuah keberpulangan. Tetapi ruh dan semangat bang uyunk mungkin akan menghidupi yang ditinggalkan. Inilah bedanya orang baik dan orang yang tidak baik (dimata saya). Orang baik, saat meninggal pun masih memberikan sebuah inspirasi bagi yang tertinggal. Seperti almarhum Taufik Savalas misalnya. Begitu pula abang.

Terakhir kali bertemu dengannya, saat HIMMAH mengadakan pembukaan pameran foto di Toga Mas, ia diundang untuk mengisi acara tersebut. Tetapi ia sendiri hanya mengantar anak didikannya bermain teater, Repertoar Gerak Lambat temanya. Tingkat kesusahannya lebih tinggi, kata abang. Dibidang teater, ia pernah mengenyam pendidikan di ISI dan ASDRAFI. Setahu saya, dua-duanya tidak lulus.

Abang kayak cenayang aja, ucapku kepadanya suatu saat. Bagaimana tidak, ia tahu betul satu kebiasaanku kalau lagi sendu. Saya, meskipun sangat ekstrovert, tidak pernah bercerita mengenai hal ini kepada orang lain. Entah darimana ia mengetahui rahasia itu. Ia banyak mengetahui sesuatu tentang seseorang. Inilah yang membuat saya tertarik untuk membaca orang dari laku, sekecil apapun itu. Menyelami dan membuka orang. Ada seorang kawan yang mengira ia dukun, sehingga ketika kehilangan sebuah ponsel, ia datang kepada abang, menanya kabar ponselnya. Abang pun menolak.

Kecintaan pada keluarga juga memberi sebuah pembelajaran buat saya. Pernah suatu ketika, ia lekas-lekas ingin pulang kerumah. Waktu menunjuk pada pukul sebelas malam. Ketika itu saya dan si Je sehabis melihat abang melatih anak didiknya maen teater dan mampir di Cik di tiro. Ia agak disiplin ketika melatih teater. Kasihan istri dan anakku, tukasnya. Ia lantas menambahkan, walaupun perumahan, sekitar rumahnya masih senyap. Di rumah hanya ada mbak Umi dan Lazu. Abang juga mengajak saya dan si Je pulang. Ayo bareng pulangnya, anak perempuan nggak takut apa pulang malam-malam?, ujarnya. Tawa saya dan si Je pun menggelegar. Aduh abang, ini masih sore.., tukas dalam hati. Kami pulang, abang di belakang saya dan si Je. Karena terbiasa naik motor dengan kecepatan tinggi dimalam hari, saya lupa ada abang. Wah, wah, wah, ngebutnya..., motorku motor tua, kata abang sambil ngos-ngosan dan rambut yang melambai-lambai, merujuk pada motor shogunnya.

Sehari sebelum kematian bang uyunk, istrinya sudah mempunyai firasat. Kata mas Pandu, mbak Umi mimpi giginya tanggal satu. Sedemikian eratnya pasangan itu. Dahulu, abang mengajak mbak Umi menikah dengan cara yang aneh. Saat itu abang ingin pergi ke Jakarta (kalau saya tidak salah ingat) naik kereta, ia membilang, mbak Umi mau jadi istrinya nggak? Dan jawabannya harus saat itu juga. Dan sampai kini, mautlah yang memisahkan hubungan itu. Dengan Lazu sebagai salah satu pengikat keduanya. Abang orang hebat, pantas saja memilih perempuan yang hebat pula.

Sering saya mengejek kulitnya yang tidak bisa dibilang putih. Ia membilang, jangan hanya memandang orang dari fisiknya. Saya baru sadar kenapa abang serius sekali saat mengatakannya, padahal saya berkata hanya dalam konteks bercanda. Ia tipe-tipe orang yang mengayomi.

Itulah bang Uyunk. Abang kita tercinta, kata mbak Weka. Sampai saat ini, belum pernah ada orang yang membicarakan kejelekannya kepada saya. Sungguh, ia istimewa bagi orang-orang yang mengenalnya. Pun saya yang hanya kenal selintas-selintas. Semoga ia bahagia disana. Amien. Dan semoga rasa sesal bisa menjadi pembelajaran buat saya. Merasalah mempunyai orang-orang disekitarmu, sebelum mereka benar-benar pergi.

Bang Uyunk, Your Spirit Carries On...

1 comment:

zen said...

Reqiuem. Reqiuem. Requiem.