Friday, February 29, 2008

Perihal Mati


Aku mengimani kalimat ini, yang paling dekat dengan kita adalah Kematian.

Setelah beberapa sahabat purna dengan tugas mereka di dunia, ada hal yang sedikit asing mengelitik di sudut harmoni. Antara mati dan sebuah totalitas.

Aku sungguh-sungguh tak ingin mati muda. Tetapi kalau tuhan menilaiku tak layak lagi mendiami bumi ini, lantas apa kuasaku? Hari kemarin aku begitu terperangah melihat dua kawan yang terbiasa kupanggil : seorang baik, meninggal di usia yang relatif muda. Yang terbersit pertama kali adalah : Ah, lelucon macam apa ini?

Kemudian nalar membawaku pada sebuah kedalaman pikir. Bahwa mati muda, mati tua itu bukanlah urusanku sebagai sesuatu yang bertitel manusia. Yang menjadi masalah adalah, apakah totalitas menjadi temanku selama ini? apakah kemanfaatanku sebagai bagian dari kehidupan sosial adalah sebuah realitas, bukannya sekedar wacana?

Tersebut ia Elly. Teman satu kampus yang beberapa hari lalu meninggal. Tak genap satu bulan ia wisuda, ku-terakan padanya label mati muda. 23 Tahun. Umur yang sama denganku. Tetapi aku melihat pada dirinya sebuah keberartian. Yang mungkin fase itu belum bisa kumiliki.

Mati tua tapi tak memperoleh apa2, atau mati muda tetapi dalam hidupnya ia begitu mengenal dirinya sendiri dan mengerti apa yang akan apa yang dimaui-nya. Itulah yang kusebut keberartian. Mengisi dengan padat hidup yang singkat dan memetakannya menjadi alur yang berisi. Sekali lagi, bukan masalah rentang waktu!!

Tetapi kalau boleh berharap, aku masih ingin mati tua. Rasanya dingin sekali menunggu kiamat di lubang lahat.

Sunday, February 10, 2008

Lantas Latah Menjadi Islam

Maaf sebelumnya, karena mengumbar kecintaan pada Tuhan. Menulis juga karena ingin bercermin dari tulisan-tulisan sendiri.

Saya bukan penganut Muhammadiyah, NU ataupun Ahmadiyah. Bukan Sunni pun Syiah. Tidak Islam kiri dan Islam kanan. Bukan abangan, bukan pula putihan. Bukan golongan liberal atau golongan radikal. Saya bukan apa-apa. Mudah-mudahan inilah yang disebut Islam. Kalaupun termasuk golongan Ahlus Sunnah, biarlah Tuhan yang memasukkan kedalamnya. Tidak ada keberanian untuk meng-klaim diri seorang Ahlus Sunah. Memangnya siapa saya?

Sebagai manusia yang selalu bergerak dalam mencari Ada; Deo; Tuhan; Allah, saya ingin mengimaninya (semoga) secara berkesadaran. Ingin ber-islam bukan hanya karena warisan buangan, melainkan benar-benar berkesadaran sebagai islam. Menerima mentah-mentah ajaran islam untuk kemudian mengkajinya. Dari sini, jangan sekali-kali menghakimi : bahwa langkah itu terbalik. Sungguh, saya merasa mempunyai aturan sendiri yang mungkin tidak terpahami oleh orang lain. Kalau seorang kawan men-klonklusikan : saya seorang eksistensialis, saya akui.

Berbicara tentang eksistensialisme, sekarang sedang tertarik dengan tiga paham yang melandasi pemikiran Ali Syari`ati. Mistisisme, Sosialisme, Eksistensialisme. Pada mulanya agak kurang tertarik dengan Syari`ati. Eksistensialisme Syari`ati sangat berbeda dengan Sartre, saya juga sedang belajar mengenainya, Syariati lebih condong pada ketuhanan, sedang Sartre tidak.

Memandang agama sebagai jalan. Biarlah disebut konvensional bahkan feodal. Maaf, saya juga bukan seorang sekuler. Hanya bisa memahami agama sejauh yang diketahui. Entah mengapa, tuhan membelajari saya melalui dua hal: sikap dan buku. Awalnya adalah sikap orang tua dalam beragama. Mereka tidak sekalipun mendikte mengenai agama. Mereka ingin saya berkesadaran. Sungguh, mereka guru agama yang mengajari tanpa doktrin, tanpa kata. Dan kegemaran ayah ibu terhadap bacaan. Dua buah pijakan yang kuat untuk melangkah. Melalui buku pula saya semakin merasa ber-Islam. Terlebih saat masa SMA, buku-buku intelektual Muslim Mesir dan Iran selalu ada di tas. Agak kurang tertarik dengan cendikiawan Arab, Irak, pun Indonesia. Hasan al Banna dengan Ikhwanul Musliminnya juga sedikit banyak telah mematri di otak. Hingga saat ini. Saya memandang dia sebagai manusia yang tahu kata : keberimbangan. Antara hablumminaallah dan hablumminannas. Vertikal dan horisontal. Tak melulu melaksanakan ritual penyembahan, Islam bukan hanya sekedar itu.

Mengapa secara berkesadaran memilih Islam sebagai agama yang tertera-kan di KTP? Semoga bukan hanya kebetulan karena berayah-beribu muslim, sehingga lantas latah menjadi Islam. Sungguh, saya ingin banyak mengenal agama lain. Sayangnya, sampai saat ini belum mempunyai kawan seorang Yahudi. Sedikit ingin mengetahui langsung agama ini. Mencoba mengenal agama lain dengan berteman dekat dengan kawan yang beda agama, membaca ajaran mereka seolah-olah itu adalah sebuah kebenaran, memahami kalau seandainya saya adalah mereka, adalah beberapa cara belajar agama lain. Walau jalan berteman itu adakalanya tidak merefleksikan keseluruhan agama, menyangkut subyek individunya sendiri.

Mungkin Tuhan tahu benar bahwa saya lebih baik hidup di Jawa, yang mayoritas Islam. Sepuluh hari di Bali, benar-benar tinggal di kost anak Bali yang beragama Hindu, aduh, benar-benar tidak kuat. Makan harus berhati-hati halal atau haramnya, masalah najis dan kebersihan, tempat ibadah dan rasa tertekan menjadi minoritas sangat terasa di Bali. Membayangkan, bilamana menjadi minoritas di Jawa. Sungguh sangat tidak menyenangkan. Saya selalu ingin menempatkan diri pada posisi orang lain dalam memperlakukan orang, termasuk mengandaikan diri menjadi minoritas. Pluralisme dengan batasan merupakan satu titik pencapaian.

Mengartikan Islam bukan hal yang mudah. Bagi saya, sampai saat ini, Islam adalah yang dirasa paling dapat mengakomodasi kebutuhan pencarian terhadap entitas bernama : Ada. Berani ber-Islam adalah berani mengimani keseluruhan. Bukan hanya sebagian. Walaupun fase hidup pernah mengantar pada keadaan menjadi seorang jilbaber, dan sekarang berpakaian yang memperlihatkan sebagian kulit, tidak ada penyangkalan bahwa jilbab diperlukan sebagai pelindung. Penyangkalan akan lebih mementahkan keagamaan seseorang dengan melakukan pembenaran dan pencarian alibi, ini menurut ilmu psikologi. Tapi inilah bukti kesempurnaan manusia, ada nafsu untuk membangkang. Dan jika orang lain tidak setuju akan poligami, saya tidak masalah dengan hal ini, dengan banyak catatan. Jadi, buat apa mengakui Muhammad sebagai Utusan Tuhan kalau mengingkari poligaminya. Menganggap poligami sebagai ‘hanya patut dilakukan Muhammad karena ia bisa mewujudkan bagaimana itu adil dengan dekat’. Muhammad masih manusia toh? Dan kita juga manusia. Saya malah memandang poligami Muhammad sebagai sebuah kesempurnaan. Bukankah manusia itu selalu punya dua sisi. Ah, kalau Muhammad juga dianggap Tuhan seperti Isa dianggap sebagai Tuhan, bilamana jadinya ya? Tidak bisa membayangkan. Berbicara mengenai Muhammad, saya sedang dalam fase mencoba untuk lebih dapat mengenalnya. Entah mengapa, kecintaaan terhadapnya masih terasa amat sangat kurang. Selama ini, hanya doktrin guru-guru agama yang mencoba masuk di pikiran. Sabda Muhammad sedikit banyak telah dipelajari. Tapi frekuensinya tidak sebanyak seperti saat membelajari ketauhidan.

Semoga kita yang mengaku beragama, merasa betul mempunyai agama. Sehingga pilihan atas ke-beragama-an kita bisa dipertanggungjawabkan sebagai sebuah bentuk kedewasaan. Saya ingin mementahkan pendapat bahwa seorang atheis adalah yang paling banyak memikirkan tuhan. Tidak hanya atheis, seorang theis juga. Semua orang sebenarnya banyak memikirkan tuhan. Dengan cara yang berlainan. Pemabuk saat memegang vodka, pelacur saat bersenggama, misalnya. Dan inilah cara saya, dengan kesederhanaan saya. Semoga makna keberimbangan betul-betul bisa dimaknai di dataran teoritis, untuk kemudian dilaksanakan pada ranah praksis.