Tuesday, December 18, 2007

Tiang Pancang


Aku takjub kepada mereka yang mengenal arti kata totalitas, kerja keras dan terfokus. Yang menggilai ketiga kata ajaib itu. Hal ini tentu ada alasannya. Pertama, karena dalam hidup aku belum pernah sekalipun total dalam sesuatu (termasuk beragama), dan yang kedua, aku sedang tertantang untuk total dan fokus terhadap sesuatu.

Kupikir hidupku selama ini hanya satu kata yang bisa mewakilinya : suka-suka. Sesuka aku mau ngapain, nggak ada yang pernah (dan yang bisa) melarang aku untuk hal yang aku kerjakan. Termasuk kedua orangtuaku. Bukan karena aku membangkang pada mereka, tetapi karena kedua orang itu, dimana hanya pada mereka aku bisa tunduk, nggak pernah ngasih batasan. Cuma dan hanya mencontohkan diri mereka, terserah aku mau meniru mereka atau nggak. Enak bukan?

Kenapa aku bilang suka-suka? Sampai umurku yang udah 22 tahun, jarang aku merasa sedih. Hal terberat dalam hidupku hanya sewaktu aku difitnah teman sendiri karena dukun. Jarang kuliah tapi tutup teori cepat, skripsi dapat yang mudah. Punya banyak teman. Kerjaannya senang-senang. Dan membayangkan, apa yang akan aku dapat nanti dari Tuhan kalau selama ini hidupku cuma buat ketawa aja.

Dan ternyata semua itu melenakan.

Ternyata dalam hidup, aku belum sekali pun bekerja keras. Aku tak mengerti itu totalitas, kerja keras, terfokus dan konsentrasi. Bahkan aku hormat pada mereka yang selalu memposting tulisan mereka di blog secara kontinyu dan teratur. Tulisan ini mungkin nggak mutu buat yang baca, tapi buat aku, inilah tiang pancang!

Friday, September 7, 2007

Kidung Lelah buat Kamu..


Ya, begitulah adanya. Aku sudah lelah dengan perasaan yang telah aku bentuk sendiri. Baiklah, jika pesan-pesan pendek itu belum menjelaskan semuanya, mari bantu aku menjabarkan.


Bahkan aku binggung harus mulai dari mana.


Sejujurnya, aku pernah mempunyai obsesi menjinakkan lelaki bangsat sepertimu. Jangan dikira pertama kali melihatmu, aku tak bisa membacamu. Aku menyukaimu, in esentia. Bukan secara eksistensia.

Malam itu, malam kau ingin mempersenggamai-ku silam, kau membilang padaku, bahwa kau mempunyai sebuah labolatorium-mu sendiri kena kehidupan. Pun aku. Pun aku tentunya, A. Aku adalah kelinci percobaanmu yang gagal untuk kau cobai. Dan kau? Bagiku, kau hanyalah orang yang berada di tempat dan waktu yang salah sehingga secara tak sadar aku telah menyeretmu kedalam labolatorium esensia dan eksistensiaku. Aku tak berbakat menjadi penjabar, mungkin pula tulisan ini nanti tak akan memuaskanmu.

Apa yang kau inginkan dari-ku?, ujarmu dari pesan yang kau kirim. Ah, memangnya apa yang kau punya? Aku hanya butuh esensi yang kau miliki. Aku butuh penggambaran. Sudah berulang ku kata kepadamu, bahwa semua yang terlaku berpijak pada ketidakberharapan apa-apa. Dan salah kalau kau menginginkan sesuatu dariku.

Kau benar, amarah itu belum mereda.

Aku sudah terlalu jauh bermain-main dengan hatiku sendiri. Seperti sudah keasyikan sendiri. Sebenarnya aku tak ingin mengikutsertakanmu dalam permainan ini, A. Aku ingin bermain sendiri. Kau sendiri yang lantas memainkan serta peranmu. Kau laki-laki, mudah tergoda.

Semua ini terjadi hanya karena aku terlalu menghayati sebuah pemaknaan. Kalaulah boleh jujur, aku sendiri pun ragu, apakah pernah perempuan lindap satu ini menyukai seorang lelaki. Aku ragu, apakah semua yang kulakukan padamu memang hanya sebuah kamuflase murahan.

Kau tahu, A. Semua yang terkata kepadamu dari mulutku, beberapa diantaranya adalah siratan kata. Dan rupanya kau tak mampu menterjemahkannya. Kau memang bodoh rupanya. Sekali lagi A, kau harus berhati-hati terhadap wanita sepertiku. Mungkin, akulah mautmu. Bisa jadi pula, aku jalan pulangmu.

Ah, penismu terlalu kecil rupanya. Sehingga kau pun harus mengesek otot itu pada setiap lubang garba. Bukankah otot akan membesar jika sering dipergunakan. Toleh ke tangan kanan dan tangan kirimu, A. Kau tak kidal, jadi tangan kananmu lebih besar daripada yang kiri. Pembelajaran otot ini yang kau terapkan untuk membesarkan penismu yang kecil itu, A. Ini amarahku. Ini lelahku. Wajar kalau aku berkata seperti ini. Boleh kutanya, siapa wanita yang paling memuaskanmu secara seksualitas?

Aku suka lelaki yang bermasalah seperti kau. Dengan pikiranmu yang me-rumit. Tetapi rupanya kau terlalu berpusat pada dirimu sendiri. Kau banyak membaca tapi sebenarnya tak mengerti apa-apa yang telah kau baca. Aku menghakimimu? Sudah kubilang, malam terakhir kita mengirim pesan itu, baru aku bisa menilaimu.

A, aku memanggilmu dengan sebutan bangsat tampan dan cah elek. Kau tau mengapa? Sebab ada dua sisi darimu yang aku ingin ketahui. Kau sadar bahwa dirimu menarik secara fisik, dan itulah kelemahanmu. Walaupun kau kalah jauh tampan dengan lelaki-lelaki yang kupunyai sebelumnya, A, tetapi aku suka senyum bangsat dan matamu. Bahkan mas Fahri bilang, seleraku rendah dan levelku turun dengan mengharapmu. Justru karena itu, aku tak mau lagi dekat dengan lelaki-lelaki putih dan rupawan yang tak memuaskanku. Aku sudah terlalu bosan dengan lelaki jenis ini. Lembek, tidak liat.

Sudah setahun aku mempetualangimu. Sudah setahun aku kesakitan atas perbuatanku sendiri. Sudah terlalu jauh pula catatan tentangmu melampaui batas kertas yang kupersiapkan untuk fase aku menyukaimu. Sudah saatnya aku mengganti dengan lelaki lain, yang tentunya A, tidak sebangsat kamu.

Ada sebagian kecil bahwa kau juga telah kupermainkan dengan kata-kata yang terlontar. Kau bilang kau belajar bermetafora dariku. Dan kau sendiri, adalah bahan pembelajaranku. Seharusnya kau bisa mengeja apa yang kukata. Kau harus belajar banyak tentang hidup. Ingin sekali kuteriakkan ini dikepalamu. Biar sekalian saja meledak.

Perubahan sikap yang ada saat ini, mungkin kau telah marah karena tak bisa menjinakkanku perempuan bangsat satu ini yang mungkin sama pula sebangsat kau. Aku satu-satunya wanita yang menolak untuk kau setubuhi kah? Hahaha.., bersetubuh memang mudah, tapi tidak dengan ekornya yang akan terus melingkupi jika aku melakukannya. Sebab pula, dalam hidup, pelajaran yang baru kupelajari adalah bagian pengendalian diri, A. Seharusnya kau tahu itu. Sekali lagi, kau masih harus banyak belajar.

Kini, tak akan ada lagi yang akan mencemoohku karena menyukaimu. Mereka kini telah bisa menepuk dada mereka dengan jumawa sebab dikiranya aku bisa menjauhimu karena pengaruh mereka. Tak mudah bagiku melupakan lelaki yang paling aku sukai dalam hidup. Tetapi roda harus tetap berjalan. Tuhan selalu memberi apa yang aku pinta. Tetapi tidak untuk kali ini. Tidak untuk memberimu kepadaku.

Kau sudah berselingkuh denganku, A. Kau tidak bisa memungkirinya. Dan kau bilang perempuanmu tidak mengetahui semua yang telah kau lakukan. Ah, aku ingat, kau masih berhutang padaku, untuk memperkenalkan perempuan itu padaku. Katamu, biar aku bisa mengejeknya. Mungkin karena kau lebih memilih pulang ke perempuanmu daripada memilihku.

Baiklah, pada akhirnya aku bisa membilang, bahwa kau-lah lelaki yang paling kusuka selama ini dalam hidupku. Kau ingat kau pernah menanya hal ini padaku kan? Ini jawabanku. Aku akui. Aku tak pernah menyesal melakukan semua hal yang telah kuperbuat terhadapmu. Kau lelaki indah dengan banyak kekuranganmu itu.

Kini aku sudah menekuk lututku. Tanda aku tak mampu meneruskan perjalanan ini..

Kini, Saya Seorang Buruh!!!


Banyak orang yang mengaku sebagai bagian dari apa yang dirasakan oleh para buruh di negara antah-berantah berjudul Indonesia ini. Dan sekarang, saya bisa bangga membilang, saya tahu pasti apa yang mereka jalani. Tentu tak bisa begitu saja berkata banyak, jika belum mencoba.

Jadi, alhasil sekarang saya menjadi seorang buruh. Benar-benar terjun menjadi buruh pabrik di tempat saya kerja praktek. Sebenarnya bisa saja saya hanya sok mengamati dan sok keminter dengan hanya di labolatorium produksinya saja. Tetapi tentu saja itu bukan Ranni muda yang saya kenal.

Hari pertama, sudah mengeluh dengan rasa kelu di kaki karena berdiri tiga jam. Hari-hari selanjutnya berjam-jam kontinyu menjadi buruh, alias operator bahasa jamaknya di dunia Industri. Memasukkan pintalan benang di mesin auto winding, membersihkan mesin spinning, memeriksa kualitas Ne di labolatorium, mengetahui seluk beluk mesin-mesin lain semisal drawing dan carding, dan menangani re-use waste.

Kesimpulan yang didapat : banyak pabrik di Indonesia tidak memanusiakan para buruh!!! Kebetulan saya kuliah di teknik industri sehingga sedikit banyak mengetahui mengenai ergonomi dan standar kenyamanan kerja.

Di pabrik tempat saya kerja praktek, kebetulan BUMN, tidak bisa dibilang ideal untuk kondisi pabrik yang baik. Cecurut masih saja nyelonong saat pemberian materi di ruang senior supervisor. Kantor disana terkesan kotor karena mungkin sudah berpuluh tahun tidak diperbaharukan segala sesuatunya. Debu yang beterbangan, AC mati, kebisingan yang mungkin sangat amat melebihi batas desible yang diharuskan, getaran lantai produksi yang diluar batas, kelembaban yang tinggi dan masih banyak lagi yang bikin anda serasa tidak menjadi manusia didalamnya. Standar kenyamanan kerja tidak diterapkan lagi.

Para buruh disini sudah terbiasa dengan keadaan. Atau mungkin menurut saya, memaksa diri untuk memperbiasakan keadaan itu. Secara teori, mereka harus menggunakan penutup telinga dan wearpack serta AC dan penyedot debu harus selalu dinyalakan. Alasan direksi, mereka harus menghemat biaya listrik dan biaya produksi agar perusahaan tidak selalu merugi. Di pabrik ini, komputer hanya ada satu dua. Bahkan bagian produksi tidak ada komputer. Para supervisor produksi pasti membawa kalkulator di saku celana atau baju mereka. Menghitung kecepatan spindle, kerugian dan urusan mesin yang harus selalu dihitung semisal ada kerusakan. Masih manual. Bahkan saya sering heran melihat orang-orang labolatorium yang setiap hari harus mencatat, menghitung, menganalisa kualitas dan kecacatan produk hanya dengan pena, kertas dan kalkulator. Setiap hari. Coba hubungkan hal ini dengan absurditasnya Camus.

Pak Mar, sang senior supervisor berseloroh melihat saya dan kawan-kawan sudah tewas berdiri beberapa jam. Lha operator itu bekerja delapan jam sehari hanya istirahat setengah jam saja mereka tidak berdiri, paparnya. Hah? Padahal mereka harus mondar-mandir dari pojok mesin satu ke pojok yang lain. Bahkan para supervisor dan senior supervisor juga harus berkeliling berjam-jam pula.

Penyakit yang timbul akibat tidak memenuhi standar keselamatan dan kenyamanan kerja ini, tidak main-main. Telinga pekak dan asma merupakan contohnya.

Upah mereka? Jangan ditanya. Semua sudah mengetahui rahasia ketidakadilan ini. inilah mungkin yang menjadi dilema saya dan beberapa anak teknik industri. Satu sisi kita dituntut untuk menurunkan biaya produksi dan mengoptimalkan hasil produksi, disisi lain, tentu kita masih banyak membaca buku-buku mengenai sistem perburuhan di Indonesia yang memberat sebelah.

Jadi, bagaimana idealisme tak membentur kenyataan, inilah tantangan.

Dan Budaya yang Menghukum Perempuan Dari Penampilannya


Ada yang mengelitik di sebuah buku yang baru saja saya baca. Bahwa kelak, perempuan akan terangsang jika melihat tubuh perempuan lainnya ataupun tubuh dirinya sendiri. Sebenarnya penyebab hal tersebut bisa dikata sepele bagi sebagian orang. Banyaknya ekspos media, individu dan oknum lain terhadap tubuh perempuan yang sangat berlebihan. Jadi anda kaum lelaki, jikalau nanti bersetubuh dengan istri anda kelak, mungkin anda harus membawa poster besar aktris porno kegemaran anda. Tubuh anda mungkin tak lagi mempan membuat para perempuan menoleh. Takutnya, ini berimbas pada semakin banyaknya lesbian. Atau banyaknya lelaki yang beralih menjadi gay karena bosan melihat tubuh perempuan. Terserah sih, menjadi lesbian, gay atau tidak keduanya. Toh itu sebuah pilihan.

Sebagian besar perempuan kini jarang mengalami orgasme saat berhubungan badan dengan lelaki. Mereka lebih puas saat mereka masturbasi dengan mengesekkan tangannya ke klitorisnya. Apakah ini semacam narsime model baru? Ah banyak opini mengenainya. Yang pasti, dari banyak sumber yang saya baca, perempuan terangsang dengan sentuhan. Berbeda dengan lelaki yang mungkin adalah seorang makhluk visual.

Iya sih, kadang jenuh sendiri, kenapa harus foto-foto perempuan telanjang terus yang sering menjadi obyek. Itu kan hanya memuaskan lelaki. Saya tanya sekarang, apakah lingkup dunia ini hanya untuk memanjakan lelaki? bolehlah saya memprotes dengan cara saya ini. kalau perempuan lain menuntut persamaan, kini saya minta persamaan dalam masalah pertelanjangan ini. Mari para pengiklan, anda ciptakan iklan oli mobil dengan lelaki yang hanya memakai cawat saja, bukan perempuan dengan belahan dada yang membuat jakun lelaki naik turun. Kan lebih dekat hubungannya dibanding dengan bintang iklan cewek. Atau, mari membuat baliho besar dengan Christian Sugiono sedang memakai celana boxer makan mi instant.

Karena tubuh perempuan indah? Ah, alasan apa pula itu. Sangat tidak masuk akal. Tubuh lelaki indah juga kok. Semua itu kan dari sudut pandang mana kita melihat. Dalam sebuah acara Oprah, pernah disebutkan anak-anak perempuan yang merasa jelek karena ibu-ibu mereka merasa dirinya jelek dan mengutuki keadaan mereka. Media dan para pengiklan makin gencar mengkampanyekan sebuah tubuh yang ideal menurut penggambaran mereka. Yang ujung tujuannya adalah, tentunya : kapitalisme.

Inilah budaya yang menghukum perempuan dari penampilannya. Teori darwin berlaku dalam hal ini. Anda jelek dan tidak menarik, silahkan mengasingkan diri kedalam dunia manusia aneh. Bahkan banyak perempuan yang dipecat karena masalah penampilan. Kelebihan dua kilogram pun bisa menjadi alasan seorang atasan untuk memecat bawahan perempuan.

Jadi? Silahkan anda berkesimpulan sendiri.

Keep Thinking.

Tahu Apa Kau Tentang Aku.

“Sudah nggak jaman jadi idealis, mati aja kalo hanya makan idealisme”

Lantas percakapan kita mengarah pada kesimpulan satu arahmu : aku terlalu idealis. Idealis yang mana? Aku masih makan American Favourite Cheesy Bites kegemaranku, aku masih suka memakai krim perawatan salon kecantikan padahal aku sudah berulang membaca mitos kecantikannya Naomi Wolf, bahkan aku masih saja menghambur-hamburkan uang orangtua untuk sebuah kegemaran hedo.

Yang mana?

Kau tahu lelaki, bahkan aku menjuluki diriku sebagai seorang realis sejati. Idealismeku berawal dari kehidupan riil yang nampak olehku. Sebab itu apa yang aku lakukan, semua pada ranah yang nyata, masih membumi, yang berarti: tidak melangit. Wajar bukan, kalau aku keberatan dengan penghakimanmu itu.

Baiklah. Aku tahu kau berpendapat begitu karena sebuah pilihan yang nyana telah aku pilih. Ihwal sebab aku memutuskan untuk tidak berpacaran, bukan. Ah, kau terlalu dangkal kali ini. Salahkah jika yang aku ambil jalan itu? Aku lebih realis daripada dirimu, yang masih saja terpekur melihat perempuanmu pergi bersama lelaki-lelaki lain di depan matamu. Bukankah lebih banyak alasan mengapa aku memang belum seharusnya berpacaran daripada alasan mengapa aku harus berpacaran? Minta dijabarkan? Sebab aku tak ingin bersetubuh di luar nikah, sebab aku ingin menjaga diriku untuk suamiku nanti, sebab aku konvensional, sebab sudah seharusnya aku belajar dari teman-temanku yang diperkosa lelakinya. Itu belum menjelaskan semuanya memang. Aku malas, kalau pun sudah dijelaskan, lantas apa pula pedulimu?

Aku ingat pernah membilang kepadamu, mengenai seorang kekasih pada waktu awal kuliah. Aku tak bohong tentangnya. Hanya saja, aku lupa menambahkan, ia kudapat karena taruhan dengan kakakku. Jangan menghakimi aku perempuan brengsek karena mempermainkan kaummu. Ia tahu, dan ia menerima keadaan itu. Ah, hubungan lima hari, sore ini aku mengingatnya lagi. Dan aku tak pernah menganggap ini sebagai sebuah relationship per-kekasihan. Ini hanya sebuah kekhilafan.

Mungkin kau juga heran, aku juga tak pernah mau berpacaran dengan lelaki-lelaki yang kusuka. Dua orang itu mempunyai kekisah yang berbeda. Yang satu menyatakan kecintaannya yang sangat amat, tetapi berpegang pada ke-realisme-anku, aku tak mau. Yang kedua, jauh-jauh sebelumnya aku sudah membilang pada sahabat-sahabat kaum adam, kalaupun dia memutus pacarnya dan beralih padaku, aku nggak bakalan mau. Tetapi yang kedua ini hanya ingin memperkosaku. Monyet goreng, umpatku. Ya, waktu malam itu aku sms kepadamu mengenai persetubuhan yang kutolak itu mengenai lelaki satu ini. dan kau pun melarang aku melakukannya. Apakah itu bukti rasa memilikimu terhadap aku?

Kau ingin aku menjaga “itu”. Katamu, kau juga ingin memiliki perempuan sepertiku sebagai istrimu. Padahal kau seenaknya saja bermain-main dengan garba perempuanmu. Egois sekali. Tapi aku suka itu. Kalau kau tak main-main dengan kelaminmu, aku takut kau bukan lelaki normal.

Tadi malam kau mengirim pesan kepadaku. Dan kita pun larut dengan masa lalu. Aku ingat, kedekatan kita berawal di Bandung dua tahun lalu. Ada hal lain yang kuutarakan padamu. Aku tak sabar menjadi seorang istri. Aku tak main-main, lelaki. Aku ingin kawin. Entah dengan siapa.

Aku ingat, seorang kawan pernah berkata padaku, Jeng, cepatlah cari pacar. Jangan cuma tebar pesona terus. Hahaha.. ia bisa bilang begitu karena mungkin ia korban tepe-tepeku. Jangan pula, ttm-an. Yang rugi kan kamu sendiri, dipeluk-peluk, dicium-cium, imbuhnya. Tawaku kemudian makin meledak dengan hebatnya. Mana ada lelaki yang berani seperti itu kecuali si monyet goreng. Nggak hanya ingin memeluk dan mencium tapi minta mendaratkan gatoloco-nya di garba-ku. Dan kawanku itu, seperti kamu. Korban mainanku. Aku ingat pada sebuah pesanmu tadi malam, kau membilang, aku yang bikin ge-er kamu. Katamu, nanti jika kamu masuk nominasi suamiku, sampai grand final kamu disuruh pulang lagi (seperti dulu?)

Kenapa malam ini kita hanya membicarakan hal-hal yang nggak bermutu ya, tanyamu. Ah, kukira kita rindu masa lalu. Mungkin kamu kangen suasana jam sebelas malam kita. Mungkin pula aku rindu bualanmu. Atau, bisa jadi, aku kangen diam-mu, dan kamu kangen suara treble-ku. Toh, sepertinya tidak mungkin lagi kita seperti dulu lagi. Setelah pertengkaran yang menghebat silam, aku tak yakin kita saling mencintai seperti ucapmu. Lelaki, sekarang mari kita tuntaskan terlebih dahulu ketakutan kita akan kematian. Mari sama-sama menguatkan hati untuk menghadapi meja operasi dan seringai sayat pisaunya. Penyakit kita memang tidak main-main.

Yang kupikirkan sekarang adalah, kenapa kau kembali meng-intimiku? Kenapa harus aku?

Friday, August 24, 2007

Bang Uyunk, Your Spirit Carries on.


Neng, kamu itu itu seperti orang yang bingung mencari kebahagiaan kemana-mana. Padahal kamu itu seperti ikan di laut. Air laut itu kebahagiaanmu”.

(seperti yang dikatakan Bang Uyunk pada saya, satu tahun silam..)


Beberapa waktu lalu saya menulis ini pada sebuah pesan untuk seorang kawan. Dua hari setelahnya, saya akan benar-benar mengingat kata-kata bang Uyunk ini dalam hidup.

Sekira sudah lama tak bertemu, saya bersua kembali dengannya malam itu. Dengan ruh dan badan yang tidak menyatu. Dengan tubuh yang membujur kaku di ruang pemulasaran jenasah. Tinggi badannya terlampau tinggi hingga tempatnya berbaring tak cukup menampung sebagian kakinya. Kawan-kawannya sudah banyak berdatangan di rumah sakit tempatnya bersemayam. Sebagian yang saya kenal adalah orang-orang teater dan orang musik. Kebanyakan sebaya dengan saya. Istrinya, mbak Umi, sedang dijemput mas Pandu. Rasanya tidak akan kuat melihat kedatangan istrinya.

Sengaja saya duduk di dekat jenasahnya bersama Indiah, karena sebagian sedang termanggu di pelataran rumah sakit. Jenasah harus ditunggui, tukas Indiah. Hanya bisa termenung dan mata air yang ditahan-tahan. Sudah, sedih jangan diperturutkan, ujar kawan saya yang lain. Melihat mata sembab bang Uyunk ketika kain penutup dibuka, saya teringat Lazu, si anak semata wayang. Saya tahu betul, abang adalah jenis ayah yang sangat protektif, paranoid dan panikan terhadap anak. Mbak Ella, si artis lokal penyiar Geronimo kemudian bergabung di kursi panjang tempat kami duduk. Manusia yang satu ini memang nggak bisa diam. Di kesempatan itu, bahkan ia sempat bilang, gimana kalau jenasahnya tiba-tiba bangun, whuaaaa..., ujarnya dengan mimik muka tak berdosa. Dan akhirnya saya pun tertawa kecut karena juga melihat posisi kaki bang Uyunk yang berubah.

Ada sesuatu yang menampar saya telak hingga terjerembab melihat apa yang dibawa istrinya pada kedatangannya yang kami tunggu. Ia terlihat maskulin malam itu dengan jas kulit panjang warna cokelat, nampak cantik, pikirku. Saya pikir saya akan melihat drama penuh tangis dan berdarah-darah. Tetapi ia hanya membawa senyum. Ya, senyum yang paling sejuk yang pernah saya lihat. Senyum berlabel ikhlas di dalamnya. Legawa atas kematian suaminya. Seharusnya saat menghadapi kematian orang yang disayang, kita memang harus menyingkirkan sifat egois kita. Seharusnya yang ditinggal tidak boleh menambah beban yang meninggal dengan kesedihan yang berlebihan. Kita sedih karena kita ditinggal, bukan? Ini kondisi ideal buat saya, namun, pada ranah praksisnya, belum mampu diaplikasikan. Saya mungkin akan belajar banyak pada senyum istrinya. Walaupun begitu, ia tampak erat memegangi baju Firman ketika melihat raga suaminya. Membisikkan beberapa patah kata, dan kemudian memeluk tubuh abang.

Pertama kali saya mengenal Bang Uyunk ketika menonton pertunjukkan teater di sebuah perguruan tinggi di Jokja. Gondrong, terkesan dekil, dan wajah yang selalu tersenyum, itulah kesan pertama yang muncul saat berkenalan dengannya. Itu pula yang terlihat pada kepulangannya menuju baka. Beberapa hari kemudian ia diundang HIMMAH pada aksi Tragedi Mei 1998, tahun 2005, bersama Tim Nota Kosong-nya untuk main teater di perempatan Gramedia. Kenapa dinamai Tim Nota Kosong, sebab sering anggota teater ini dibayar dengan nota kosong alias gratis.


If I die tomorrow, I'd be all right
Because I believe, That after we're gone
The spirit carries on


Lagu Dream Theatre mengalun dari komputer mengiringi ketikan tangan ini. Ya, berharap abang disana akan baik-baik saja. Sengaja saya tidak ikut pemakamannya. Badan rasanya berontak ingin istirahat. Penyakitku muncul saat yang tak tepat. Di tidur siang itu, abang hanya mati suri dan bangun kembali seperti apa yang dikatakan mbak Ella. Dia membilang pada saya, di alam sana ia bahagia, ia senang bertemu Allah. Semoga mimpi itu terwujud.

Berharap juga semangatnya akan terus menghidupi orang-orang di lingkarannya. Seingat saya, Ia getol sekali mengajari anak-anak muda yang berhasrat dengan dunia teater dan musik. Ia berjuang dengan caranya. Tanpa banyak cakap. Saat meninggal pun ia sedang bermain band di sekitaran jalan Solo. Mencari nafkah untuk keluarga kecilnya. Saya pernah mendengar ceritanya tentang bagaimana ia pernah menjadi tukang bangunan, dan terakhir yang ia bilang pada saya, ia sedang kerja siang jadi pelayan di Kindai, jalan Gejayan dekat jembatan merah. Yang belum saya mengerti adalah pilihannya tentang hidup. Berasal dari keluarga kyai yang mapan di Kalimantan, tetapi ia memutuskan memilih sendiri kehidupan dan penghidupannya.

“Neng, kok cuma disenggol hp-nya?”, ujarnya melalui pesan pendek ketika saya hanya me-missed call ponselnya pada suatu malam. Kami pun ber-sms ria, pada malam terakhir kami berhubungan. Ia menanyakan alamat kost yang baru, pengen maen, katanya. Ah, abang. Ini pula yang pertama kali membuat saya menangis mendengar kabar kematianmu. Saya menyesal. Bang Uyunk selalu merangkul anak-anak muda untuk lebih memaknai hidup. Dengan berbagai cara. Begitu pula dengan apa yang saya rasakan. Ia sering mampir ke kost, untuk menyambung tali perkawanan. Tapi aku sering kecele, kamu jarang di kost, katanya. Pernah ia datang bertiga dengan mas Aan dan si kecil Lazu. Dengan vespa kuningnya. Mungkin anak-anak kost ngeri liat ada dua orang yang tinggi-tinggi, kurus, gondrong pula. Begitulah, inilah keegoisan saya. Saya terlalu asyik dengan dunia yang saya ciptakan sendiri. Terhitung, hanya sekali saya menyambangi rumah kecilnya yang asri. Berwarna cerah, kuning. Panorama didepan sangat indah, gunung Merapi. Saat itu diajak mbak Weka latihan musik dirumah abang. Mbak weka memegang biola, mas pandu piano, abang jambe, mas aan gitar kalau tidak salah, masih ada juga Awan dan satu orang lagi yang tidak saya kenal. Saya sendiri cuma bengong. Di rumahnya banyak sekali kasur. Kawan-kawan abang memang sering menginap dirumahnya. Saya ingat, bang uyunk juga sering mengajak mancing. Ya, memancing adalah kegemarannya yang lain. Seperti biasa, ajakannya hanya bisa saya iya-iyakan saja.

Kadang saya sering wadul dan sambat kalau si Lazu mulai mengata-ngatai saya dengan kejam. Dengan bijak pula bang Uyunk memarahi Lazu. Oya, oleh Lazu, saya di panggilnya bibi. Teman-teman lain juga dipanggilnya demikian. Pada bang uyunk saya pernah protes karenanya, ia kemudian berkata, masa mbak, apalagi tante? Ternyata itu bentuk penghormatannya dan Lazu untuk kawan-kawan abang. Ia tahu bagaimana menempatkan diri.


Move on, be brave, Don't weep at my grave
Because I am no longer here
But please never let
Your memory of me disappear

Mungkin kira-kira itulah yang ingin disampaikan. Dan orang-orang yang merasa ditinggalkan memang tidak seharusnya meratap atas sebuah keberpulangan. Tetapi ruh dan semangat bang uyunk mungkin akan menghidupi yang ditinggalkan. Inilah bedanya orang baik dan orang yang tidak baik (dimata saya). Orang baik, saat meninggal pun masih memberikan sebuah inspirasi bagi yang tertinggal. Seperti almarhum Taufik Savalas misalnya. Begitu pula abang.

Terakhir kali bertemu dengannya, saat HIMMAH mengadakan pembukaan pameran foto di Toga Mas, ia diundang untuk mengisi acara tersebut. Tetapi ia sendiri hanya mengantar anak didikannya bermain teater, Repertoar Gerak Lambat temanya. Tingkat kesusahannya lebih tinggi, kata abang. Dibidang teater, ia pernah mengenyam pendidikan di ISI dan ASDRAFI. Setahu saya, dua-duanya tidak lulus.

Abang kayak cenayang aja, ucapku kepadanya suatu saat. Bagaimana tidak, ia tahu betul satu kebiasaanku kalau lagi sendu. Saya, meskipun sangat ekstrovert, tidak pernah bercerita mengenai hal ini kepada orang lain. Entah darimana ia mengetahui rahasia itu. Ia banyak mengetahui sesuatu tentang seseorang. Inilah yang membuat saya tertarik untuk membaca orang dari laku, sekecil apapun itu. Menyelami dan membuka orang. Ada seorang kawan yang mengira ia dukun, sehingga ketika kehilangan sebuah ponsel, ia datang kepada abang, menanya kabar ponselnya. Abang pun menolak.

Kecintaan pada keluarga juga memberi sebuah pembelajaran buat saya. Pernah suatu ketika, ia lekas-lekas ingin pulang kerumah. Waktu menunjuk pada pukul sebelas malam. Ketika itu saya dan si Je sehabis melihat abang melatih anak didiknya maen teater dan mampir di Cik di tiro. Ia agak disiplin ketika melatih teater. Kasihan istri dan anakku, tukasnya. Ia lantas menambahkan, walaupun perumahan, sekitar rumahnya masih senyap. Di rumah hanya ada mbak Umi dan Lazu. Abang juga mengajak saya dan si Je pulang. Ayo bareng pulangnya, anak perempuan nggak takut apa pulang malam-malam?, ujarnya. Tawa saya dan si Je pun menggelegar. Aduh abang, ini masih sore.., tukas dalam hati. Kami pulang, abang di belakang saya dan si Je. Karena terbiasa naik motor dengan kecepatan tinggi dimalam hari, saya lupa ada abang. Wah, wah, wah, ngebutnya..., motorku motor tua, kata abang sambil ngos-ngosan dan rambut yang melambai-lambai, merujuk pada motor shogunnya.

Sehari sebelum kematian bang uyunk, istrinya sudah mempunyai firasat. Kata mas Pandu, mbak Umi mimpi giginya tanggal satu. Sedemikian eratnya pasangan itu. Dahulu, abang mengajak mbak Umi menikah dengan cara yang aneh. Saat itu abang ingin pergi ke Jakarta (kalau saya tidak salah ingat) naik kereta, ia membilang, mbak Umi mau jadi istrinya nggak? Dan jawabannya harus saat itu juga. Dan sampai kini, mautlah yang memisahkan hubungan itu. Dengan Lazu sebagai salah satu pengikat keduanya. Abang orang hebat, pantas saja memilih perempuan yang hebat pula.

Sering saya mengejek kulitnya yang tidak bisa dibilang putih. Ia membilang, jangan hanya memandang orang dari fisiknya. Saya baru sadar kenapa abang serius sekali saat mengatakannya, padahal saya berkata hanya dalam konteks bercanda. Ia tipe-tipe orang yang mengayomi.

Itulah bang Uyunk. Abang kita tercinta, kata mbak Weka. Sampai saat ini, belum pernah ada orang yang membicarakan kejelekannya kepada saya. Sungguh, ia istimewa bagi orang-orang yang mengenalnya. Pun saya yang hanya kenal selintas-selintas. Semoga ia bahagia disana. Amien. Dan semoga rasa sesal bisa menjadi pembelajaran buat saya. Merasalah mempunyai orang-orang disekitarmu, sebelum mereka benar-benar pergi.

Bang Uyunk, Your Spirit Carries On...

Monday, August 13, 2007

Emak


Sebentar, ada yang tertinggal.
Ah, kita lupa meratapi hari, Mak

Kita lupa berpura-pura menjerang air
Dan berlagak makan enak

Kita juga lupa, bapak tadi pamit kemana
Maksudku, ke gua garba yang mana lagi,
Ia coba sedekahkan mani-maninya

Tapi Mak, semoga hari ini aku tak lupa
Membaca tuhan,
Pada air muka-mu.


Sedang berusaha membuat puisi sederhana yang tidak liris dan tidak pula mendayu-dayu. Gara-gara membuka kembali Pacar Senja-nya Jokpin, nih.

Thursday, August 9, 2007

habituari butuh, antara seksualitas dan pembiasaan

Keep Virgin, be Healthy

Iklan layanan masyarakat itu terpampang pada layar televisi di pojok kamar. Pada bagian akhir, seperti sebagai penandas. Menceritakan tentang seorang perempuan belasan tahun yang sedang menangis menelepon kekasihnya. Memberitakan kehamilannya. Sebuah hamil yang tidak terencana dengan baik kiranya.

Saya membilang, itu klise. Bukan, bukan iklannya. Melainkan kejadiannya. Iklannya sendiri menurut saya cukup ‘tidak biasa’. Bagaimana tidak, iklan kondom dengan ‘cewek suka yang pake helm’, menjadi sebuah pembiasaan bagi masyarakat untuk menerima sebuah kebiasaan baru. Budaya seks bebas. Tetapi jangan lantas menuduh sok moralis karena menulis tentang ini. Sekali lagi, mari bercermin dari tulisan sendiri. Saya percaya kekuatan kata-kata.

Tidak pernah ada penghakiman bahwa mereka yang melakukan seks bebas sebagai gaya hidup itu sebagai sebuah salah. Ada keyakinan, masing-masing manusia yang melakukannya sudah masuk dalam taraf dewasa karena mempunyai insting untuk menyalurkan libidonya. Jadi, hak mereka untuk melakukan atau tidak melakukan.

Yang sangat menganggu pikiran akhir-akhir ini adalah beberapa pengakuan kawan-kawan lelaki. Kebiasaan lebih dekat dengan kawan dari kaum adam daripada kaum hawa membuat saya lebih mengerti mereka. Tidak pernah ada sekat antara kami. Tidur bersama-sama, dan kadang terbangun kaget melihat didepan ada wajah tak berdosa sedang tidur beberapa inci didepan wajah kita. Membiasakan diri mendengarkan omongan jorok mereka, membiasakan diri melihat kebiasaan buang air didepan mata. Mengerutu sebal saat mereka menggoda dengan hanya memakai celana dalam (hal yang sudah terjadi dari SMP, sampai saat ini kuliah), dan mendengarkan saat mereka bercerita tentang Miyabi, sang aktris porno kegemaran. Seperti sudah dianggap sebagai lelaki tulen. Mungkin karena ekstrovert, mereka pun sangat terbuka.

Bahkan dalam masalah seksualitas pun. Sebagai contoh, beberapa hari lalu, salah seorang kawan yang sudah menikah selama beberapa tahun pernah mengkisahkan pengalamannya bertemu dengan wanita hypersex. Wah, capek meladeninya. Dia minta berulang-ulang kali. Padahal aku harus ngumpulin tenaga dulu, ujarnya. Di lain waktu, seorang teman bercerita tentang tidak enaknya memakai kondom. Atau cerita-cerita lain, yang kalau diceritakan mungkin yang membaca kebelet kekamar mandi pengen onani atau masturbasi (atau, kangen pacar untuk dinikmati?). Ah maaf, selalu tanpa basa-basi.

Dan yang sangat membuat keki adalah kisah salah seorang sahabat, dan pengakuannya. Kebanyakan lelaki, saya maksudkan in general, bukan mengeneralisasikan, setelah mendapat keperawanan seorang perempuan lantas kemudian ditinggalkan. Tipe-tipe ‘Penjahat Kelamin’ mahasiswa Yogyakarta. Pernah saya melihat dan mendengar raungan salah seorang pacar sahabat saya ini yang diputusnya hanya dengan alasan : bosan. Dan ia pernah memerkosanya. Perempuan ini masih duduk di sekolah menengah, dan memakai jilbab. Saya selalu mengingat tangis itu. Jangan bilang suka sama suka. Mayoritas perempuan, ketika berhubungan pertama kali pasti merasa amat berdosa, tidak berharga dan menyesal. Tetapi banyak juga yang lantas ketagihan. Ada yang beralasan sudah kecebur, nyebur aja sekalian. Sumbernya akurat lho, tidak mengada-ada.

Bisa jadi free sex memang sudah menjadi common culture. Tak jarang beberapa teman lelaki mengajak untuk melakukan sebuah persetubuhan. Tapi tentunya mereka yang bukan teman dekat atau sahabat, karena mereka pasti mengetahui bagaimana saya beserta pikiran yang terusung. Kalau berbicara tentang ini, pikiran tak ayal jatuh pada sebuah malam. Seseorang yang dalam hidup pernah sangat amat disuka, pernah berniat untuk menistakan saya. Maka hancur leburlah saya. Beruntungnya, saat itu kesadaran dalam voltase yang sangat tinggi. Sehingga hal yang biasa, namun tidak bisa saya “biasakan” itu tidak terjadi. Seharusnya perempuan bisa dan berkuasa untuk berkata “tidak”. Dengan tidak menafikan hasrat seksualitas lelaki memang sangat tinggi. Dan saya pun juga bukan jenis orang yang mengagung-agungkan keperawanan. Tapi maaf, sampai saat ini saya masih menghargai orang tua dan calon suami kelak. Merasa pula masih bertuhan. (Maaf tuhan, membawa-bawa namamu lagi).

Nge-gap orang yang sedang making love pun tidak sekali dua kali. Ada yang maen dikamar mandi (busyet kalo yang ini sampai satu jam..), kamar kost atau tempat-tempat strategis lainnya. Bahkan menurut salah satu pegawai bagian rumah tangga fakultas Ekonomi UII, setiap menyedot WC pasti ditemukan banyak kondom bekas. Iip Wijayanto pernah mengadakan survei yang hasilnya menyatakan bahwa 97% mahasiswi Jogja tidak perawan. Tidak menyangkal tidak pula membenarkan. Agak ragu juga melihat angkanya sebesar itu, kalau melihat teman2 perempuan sekitar, masih banyak juga yang tetap berprinsip menjaga keperawanan.

Sekali lagi inilah pilihan. Tuhan dalam kitabnya seringkali memberikan pilihan, agar manusia mau berpikir. Sebagai permisalan, kamu mendapat surga jika kamu melakukan ini, dan mendapat neraka jika melakukan itu. Tidak menekankan kata “harus”. Dan hingga saat ini, saya memilih jalan ini. Entah besok, lusa, atau nanti. Toh manusia selalu berubah dengan dinamis.

Ngomong-ngomong lelaki atau perempuan yang pernah berhubungan badan dengan lebih dari dua orang, lantas menikah, jika ia menemukan kekurangan seksualitas pasangannya, apakah ini salah satu pendorong perselingkuhan juga? Oya, cewek-cewek banyak juga yang suka nonton bokep lho. Banyak juga yang koleksinya lengkap. Wuih... apakah saya memang ketinggalan jaman....

Saturday, August 4, 2007

Lantas Latah Menjadi Islam

Maaf sebelumnya, karena mengumbar kecintaan pada Tuhan. Menulis juga karena ingin bercermin dari tulisan-tulisan sendiri.

Saya bukan penganut Muhammadiyah, NU ataupun Ahmadiyah. Bukan Sunni pun Syiah. Tidak Islam kiri dan Islam kanan. Bukan abangan, bukan pula putihan. Bukan golongan liberal atau golongan radikal. Saya bukan apa-apa. Mudah-mudahan inilah yang disebut Islam. Kalaupun termasuk golongan Ahlus Sunnah, biarlah Tuhan yang memasukkan kedalamnya. Tidak ada keberanian untuk meng-klaim diri seorang Ahlus Sunah. Memangnya siapa saya?

Sebagai manusia yang selalu bergerak dalam mencari Ada; Deo; Tuhan; Allah, saya ingin mengimaninya (semoga) secara berkesadaran. Ingin ber-islam bukan hanya karena warisan buangan, melainkan benar-benar berkesadaran sebagai islam. Menerima mentah-mentah ajaran islam untuk kemudian mengkajinya. Dari sini, jangan sekali-kali menghakimi : bahwa langkah itu terbalik. Sungguh, saya merasa mempunyai aturan sendiri yang mungkin tidak terpahami oleh orang lain. Kalau seorang kawan men-klonklusikan : saya seorang eksistensialis, saya akui.

Berbicara tentang eksistensialisme, sekarang sedang tertarik dengan tiga paham yang melandasi pemikiran Ali Syari`ati. Mistisisme, Sosialisme, Eksistensialisme. Pada mulanya agak kurang tertarik dengan Syari`ati, mengenai pemikiran dia bahwa orang harus kaya terlebih dahulu agar dapat ber-Islam dengan baik, cenderung tidak setuju dengannya dalam masalah ini. Eksistensialisme Syari`ati sangat berbeda dengan Sartre, saya juga sedang belajar mengenainya, Syariati lebih condong pada ketuhanan, sedang Sartre tidak.

Memandang agama sebagai jalan. Biarlah disebut konvensional bahkan feodal. Maaf, saya juga bukan seorang sekuler. Hanya bisa memahami agama sejauh yang diketahui. Entah mengapa, tuhan membelajari saya melalui dua hal: sikap dan buku. Awalnya adalah sikap orang tua dalam beragama. Mereka tidak sekalipun mendikte mengenai agama. Mereka ingin saya berkesadaran. Sungguh, mereka guru agama yang mengajari tanpa doktrin, tanpa kata. Dan kegemaran ayah ibu terhadap bacaan. Dua buah pijakan yang kuat untuk melangkah. Melalui buku pula saya semakin merasa ber-Islam. Terlebih saat masa SMA, buku-buku intelektual Muslim Mesir dan Iran selalu ada di tas. Agak kurang tertarik dengan cendikiawan Arab, Irak, pun Indonesia. Hasan al Banna dengan Ikhwanul Musliminnya juga sedikit banyak telah mematri di otak. Hingga saat ini. Saya memandang dia sebagai manusia yang tahu kata : keberimbangan. Antara hablumminaallah dan hablumminannas. Vertikal dan horisontal. Tak melulu melaksanakan ritual penyembahan, Islam bukan hanya sekedar itu.

Mengapa secara berkesadaran memilih Islam sebagai agama yang tertera-kan di KTP? Semoga bukan hanya kebetulan karena berayah-beribu muslim, sehingga lantas latah menjadi Islam. Sungguh, saya ingin banyak mengenal agama lain. Sayangnya, sampai saat ini belum mempunyai kawan seorang Yahudi. Sedikit ingin mengetahui langsung agama ini. Mencoba mengenal agama lain dengan berteman dekat dengan kawan yang beda agama, membaca ajaran mereka seolah-olah itu adalah sebuah kebenaran, memahami kalau seandainya saya adalah mereka, adalah beberapa cara belajar agama lain. Walau jalan berteman itu adakalanya tidak merefleksikan keseluruhan agama, menyangkut subyek individunya sendiri.

Mungkin Tuhan tahu benar bahwa saya lebih baik hidup di Jawa, yang mayoritas Islam. Sepuluh hari di Bali, benar-benar tinggal di kost anak Bali yang beragama Hindu, aduh, benar-benar tidak kuat. Makan harus berhati-hati halal atau haramnya, masalah najis dan kebersihan, tempat ibadah dan rasa tertekan menjadi minoritas sangat terasa di Bali. Membayangkan, bilamana menjadi minoritas di Jawa. Sungguh sangat tidak menyenangkan. Saya selalu ingin menempatkan diri pada posisi orang lain dalam memperlakukan orang, termasuk mengandaikan diri menjadi minoritas. Pluralisme dengan batasan merupakan satu titik pencapaian.

Mengartikan Islam bukan hal yang mudah. Bagi saya, sampai saat ini, Islam adalah yang dirasa paling dapat mengakomodasi kebutuhan pencarian terhadap entitas bernama : Ada. Berani ber-Islam adalah berani mengimani keseluruhan. Bukan hanya sebagian. Walaupun fase hidup pernah mengantar pada keadaan menjadi seorang jilbaber, dan sekarang berpakaian yang memperlihatkan sebagian kulit, tidak ada penyangkalan bahwa jilbab diperlukan sebagai pelindung. Penyangkalan akan lebih mementahkan keagamaan seseorang dengan melakukan pembenaran dan pencarian alibi, ini menurut ilmu psikologi. Tapi inilah bukti kesempurnaan manusia, ada nafsu untuk membangkang. Dan jika orang lain tidak setuju akan poligami, saya tidak masalah dengan hal ini, dengan banyak catatan. Jadi, buat apa mengakui Muhammad sebagai Utusan Tuhan kalau mengingkari poligaminya. Menganggap poligami sebagai ‘hanya patut dilakukan Muhammad karena ia bisa mewujudkan bagaimana itu adil dengan dekat’. Muhammad masih manusia toh? Dan kita juga manusia. Saya malah memandang poligami Muhammad sebagai sebuah kesempurnaan. Bukankah manusia itu selalu punya dua sisi. Ah, kalau Muhammad juga dianggap Tuhan seperti Isa dianggap sebagai Tuhan, bilamana jadinya ya? Tidak bisa membayangkan. Berbicara mengenai Muhammad, saya sedang dalam fase mencoba untuk lebih dapat mengenalnya. Entah mengapa, kecintaaan terhadapnya masih terasa amat sangat kurang. Selama ini, hanya doktrin guru-guru agama yang mencoba masuk di pikiran. Sabda Muhammad sedikit banyak telah dipelajari. Tapi frekuensinya tidak sebanyak seperti saat membelajari ketauhidan.

Semoga kita yang mengaku beragama, merasa betul mempunyai agama. Sehingga pilihan atas ke-beragama-an kita bisa dipertanggungjawabkan sebagai sebuah bentuk kedewasaan. Saya ingin mementahkan pendapat bahwa seorang atheis adalah yang paling banyak memikirkan tuhan. Tidak hanya atheis, seorang theis juga. Semua orang sebenarnya banyak memikirkan tuhan. Dengan cara yang berlainan. Pemabuk saat memegang vodka, pelacur saat bersenggama, misalnya. Dan inilah cara saya, dengan kesederhanaan saya. Semoga makna keberimbangan betul-betul bisa dimaknai di dataran teoritis, untuk kemudian dilaksanakan pada ranah praksis.

Ritual Naik Gunung


Mahameru berikan damainya
Didalam mercu Arcapada...
Mahameru sebuah legenda tersisa
Puncak abadi para dewa..

Lagu Dewa 19 mengalun pelan dari speaker komputer. Ah, saya rindu masa lalu. Saya ingat, dahulu ada sebuah ritual yang tidak bisa tidak harus terpenuhi. Naik gunung. Kegemaran yang memiliki suatu romansa tersendiri. Bermula dari keikutsertaan menjadi anggota pecinta alam sekolah, Stigmapa. Dan mencoba meneruskan pendidikan ke-alam-an dengan menjadi anggota Mapala Unisi.

Tidak bisa tidak, dari semua organisasi yang saya ikuti, pengaruh organisasi pecinta alam banyak memberi andil dalam hidup. Bukan berarti saya mengenyampingkan yang lain. Tetapi menjadi seorang pecinta alam membutuhkan konsekuensi yang tidak sedikit. Pengorbanan inilah yang selalu saya coba kenang.

Masa SMU mungkin masa dimana frekuensi ritual mendaki sangat tinggi. Dalam satu bulan bisa lebih dari dua kali menyambangi gunung-gunung di sekitar Kota Magelang. Inilah kekhasan kota Magelang, dilingkari oleh gunung-gunung. Yaitu gunung Merbabu, Sindoro, Sumbing, Telomoyo, Andong, Merapi dan pegunungan Menoreh. Ditengahnya, ada bukit Tidar, yang dipercaya sebagai pusat pulau Jawa. Dari kesemuanya, favorit saya adalah Gunung Sindoro. Tetapi yang sering dikunjungi adalah Gunung Merbabu. Alasannya sederhana, sewaktu SMU tentunya uang saku tidak akan cukup mengakomodasi hobi ini, saya bersama teman-temanpun mengakalinya dengan mendaki Merbabu yang dengan uang limabelas ribu perak sudah memenuhi hasrat akan sebuah kedekatan dengan alam karena jaraknya tidak terlalu jauh dari pusat kota.

Gunung Sindoro, bersama Gunung Sumbing, sering disebut sebagai gunung kembar. Jadi bukan hanya payudara saja yang terkonotasi dengan sebutan gunung kembar. Di Sindoro yang terletak antara kabupaten Temanggung dan Wonosobo inilah, ada suatu perulangan dan pembaharuan. Saya merasa benar-benar menjadi manusia baru setelah pulang dari gunung ini. Merenung di pos dua atau pos tiga merupakan habituari yang tidak bisa tidak harus diluangkan. Melihat Sumbing didepan, Merapi dan merbabu di kejauhan, awan berserak dibawah, langit dini hari yang memukau dan kesederhanaan Sindoro dengan gersangnya. Ada sesuatu yang tidak bisa terjabarkan dengan kata-kata. Entah. Mencintai Sindoro, memaknainya sebagai ruang pembelajaran.

Saya lantas teringat, sudah dua tahun lebih tidak mendaki gunung. Gunung terakhir yang terjamah adalah Lawu. Bersama anak-anak Mapala. Tugu puncak Lawu selalu mengendap di pikiran, fotonya pun sengaja saya pasang di dinding. Sebagai pengingat, bahwa ada panggilan yang akan selalu memanggil. Sebelum Lawu, beberapa hari sebelumnya saya mendaki Sumbing bersama kawan-kawan teknik elektro. Saya menyukai perjalanan ini. Energi saya terpompa penuh. Dari tujuh orang, tiga diantaranya ambuk karena tidak kuat. Demi melihat keinginan saya untuk terus sampai ke puncak sebelum fajar, perjalanan tetap dilakukan. Mungkin juga karena mereka malu melihat saya yang perempuan sendiri dalam rombongan perjalanan itu masih tetap kekeuh ingin muncak. Tetapi karena beban yang dibawa melebihi kapasitas kekuatan tubuh, beberapa diantaranya menyarankan untuk meneruskan keesokan harinya. Digunung tentu ego harus sedikit dikesampingkan. Akhirnya tenda pun didirikan. Saya sengaja tidur diluar sendirian. Ingin merasakan dingin, dingin yang sampai ke sumsum. Esoknya, ucapan selamat ulang tahun datang pada saya. Ya itulah kado terindah saya di tahun ke-19. Perayaan ulang tahun ini sama seperti saat ulang tahun ke-17 saya yang dirayakan di Sindoro. Ketika itu naik bersama Andy, Pedro dan Andec. Saat pendakian di Sindoro inilah, alam menampakkan keelokkannya. Sungguh, itulah keindahan. Di gubuk tempat kami berteduh, terlihat merapi mengeluarkan lavanya. Subuh pun terawali dengan sujud yang terasa dalam. Mungkin Andy yang seorang Kristiani juga ber-puji tuhan atas keelokkan itu. Mengutip kata seorang bijak, bahwa di ketinggian gununglah, kedekatan kita dengan tuhan bisa semakin nyata. Saya akui itu.

Dan kini, mungkin saya sudah tidak kuat lagi mendaki sampai puncak. Kegiatan selama ini lebih banyak berkutat pada membaca, membaca, membaca dan menulis. Berenang dan bilyard pun jarang diakukan lagi. Penyakit banyak berdatangan, semakin sering insomnia. Mungkin tubuh saya sudah berontak ingin mendaki lagi. Malam ini, pukul satu dini hari, saya merindui gunung. Hidup terasa belum berimbang. Kapan saya bisa mengulang romantisme itu lagi, sebelum berpulang?


Mendaki melintas bukit...
Berjalan lebih menahan berat beban
Bertahan didalam dingin
Berselimut kabut Ranu Kumbolo
Menatap jalan setapak
Bertanya-tanya sampai kapankan berakhir....
(Mahameru, Dewa 19)

Pada Suatu Hari, Untuk selamanya!!!

Djenar Maesa Ayu. Penulis buku dan pemain film Koper itu beberapa jengkal di depan saya. Selain itu, ada pula Garin Nugroho, sutradara dan penggagas Jogja NETPAC Asian Film Festival, acara yang sedang saya nikmati. Juga terlihat St. Sunardi. Salah satu akademisi kampus Sanata Dharma, yang beberapa hari lalu profilnya nampang di harian Kompas. Dia adalah ketua dewan juri festival ini. Selain mereka, ada juga beberapa juri dari negara-negara lain. Garin nampak mondar-mandir dan berbincang serius dengan beberapa orang yang memakai kaos merah dan co card berwarna senada. Di punggung orang-orang tersebut, yang saya yakin itu pasti panitia, tertulis dengan amat sangat jelas : volunteer. Sukarelawan. Alias tidak dibayar. Djenar sendiri sedang santai mengobrol dengan beberapa orang dibawah payung besar sambil menikmati kudapan. Memakai tank top bergaris-garis hitam putih, dan kacamata berkaca gelap yang nangkring di atas kepala. Gaya berjalan, menatap dan berbicara Djenar menginggatkan saya pada tulisan-tulisan yang ia buat. Lugas.

Di meja sebelahnya, St Sunardi rupanya sedang berusaha menghabiskan jatah makan dari panitia. Di kardus makannya, tercetak nama sebuah resto elit dan ekslusif di Kota Djokdja. Uban di rambut dan kacamata berbingkai tebal yang di kenakan membuatnya nampak lebih khas untuk dikenali. Cendikiawan Katholik itu diberitakan pernah mendalami islamologi dan bahasa Arab di Mesir selama beberapa tahun. Menyukai filsafat malah selepas dari Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Driyarkara. Sedikit janggal memang. Tapi mungkin memang begitulah kiranya, sepertinya harus menjadi orang aneh untuk menjadi sedikit tidak aneh.

Tak berapa lama, dari pengeras suara terdengar suara seorang panitia yang mengumumkan bahwa para penonton sudah bisa memasuki ruangan. Orang-orang yang masih di pelataran depan salah satu gedung Taman Budaya pun bersigegas masuk. Saya pun ikut beranjak. Bukan, bukan badan saya. Hanya pikiran yang berpulang pada beberapa menit sebelum saya melihat Garin, Djenar dan St Sunardi.

***

“Maaf Mbak, tiketnya sudah habis”, ujar penjaga bagian ticketing itu sambil meringis melihat saya meringis. Hanya bisa menggaruk-garuk kepala dan membalik badan berujar ke Indiah, kawan seperjuangan nonton, membilang persis apa yang dibilang mbak-mbak ticketing itu. Perjuangan melawan panas dan malas dari kost di Jalan Kaliurang menuju Djokdja kota berakhir pada kekecewaan : tiket film Tiga Hari Untuk Selamanya sudah sold out!!

Ya sudah, aku mau nonton orang saja, kamu mau kan nemenin aku? tukas saya pada Indiah. Ia mengangguk pasrah. Ia tentu sudah maklum pada kegemaran yang satu ini. Lantas kami pun mencari posisi strategis untuk kegiatan “menonton orang”. Kegiatan yang menyenangkan untuk meningkatkan sensitifitas membaca laku, tanpa penghakiman. Sepertinya memang tidak berjodoh untuk menonton film besutan Riri Riza tersebut. Bagaimana tidak, sewaktu pemutaran di salah satu bioskop yang mempunyai jaringan terbesar, salah seorang adik sedang berlibur di Kota Djokdja. Otomatis, tidak bisa meninggalkannya sendirian di kost sedang saya asyik menonton. Di ajak pun, umurnya baru 13 Tahun. dan saya berkesadaran penuh melihat range umur film ini harus berusia 17 Tahun ke atas. Walaupun lebih tinggi sepuluh cm, tapi sebagai kakak, mengerti betul kadar kedewasaannya belum bisa membedakan antara fiksi dan yang benar-benar fiksi.

Dan kini, saya terdampar di bawah pohon besar di depan gedung yang seharusnya saya sudah berada didalamnya menikmati perjalanan Jakarta-Djokdja, di film tersebut. Di bagian depan ada satu stand penjualan buku. Dan gairah pun menjadi normal kembali. Tapi tunggu dulu, disitu hanya ada beberapa buku populer model chicklit dan teenlit. Uhhh.., bukannya alergi, tetapi hanya sedikit kecewa. Setelah ditunda selama satu jam penonton film Tiga Hari Untuk Selamanya memasuki ruangan. Yah, tidak bisa “menonton orang” lagi..

Demi melihat poster film Kala, saya pun mengajak Indiah untuk melihat film garapan Joko Anwar itu. Tiket seharga limaribu perak sudah saya kantongi. Hanya saja harus menunggu dua jam lagi untuk menyaksikannya. Malas rasanya untuk kembali ke UII cik ditiro, apalagi ke kost dijalan Kaliurang. Selain panas, Djokdja di siang hari juga mulai menjengkelkan keramaian transportasinya. Saya lantas teringat pada kakak yang sekarang menjadi perempuan urban di metropolitan. Dalam telepon dan pesan pendeknya, tak jarang ia bercerita kalau ia sehabis jatuh, nyemplung di selokan, kesenggol mobil, nyenggol mobil, hampir di tabrak mobil sambil tertawa. Ah, sudah biasa, tukasnya. Tetapi buat saya, ke-biasa-an itu bisa mempengaruhi kesehatan pikiran. Merambah romantisme kota ini memang mengasyikkan pada waktu sore sampai malam hari.

Dan saya, beserta Indiah tentunya, lantas menelusuri Pasar Shoping yang letaknya disebelah Taman Budaya. Di tempat ini tersedia banyak koleksi buku. Ada juga makalah, skripsi, majalah dan kitab-kitab. Bekas maupun baru. Selain disini, tempat mencari buku yang murah meriah ada di jalan Terban. Kalau tidak ya, waktu bazaar buku. Acara yang sering di adakan di Djokdja. Inilah daya tarik kota ini. Sangat dinamis dari segi manapun.

Dari shoping, kami lantas menyeberang menuju Swalayan Progo. Mencari sebuah kado untuk seorang kawan. Indiah beberapa kali menginggatkan ketika saya ingin membeli suatu barang yang tidak begitu perlu. Menyingkirkan sikap gemar berbelanja memang tidak bisa serta merta diubah.

Pukul 15.15. Kami lantas menuju Taman Budaya lagi. Ternyata ada Zendy dan Abrar disana. Berempat, kami pun menonton film Kala. Film ini menarik dengan literatur yang diluar kebiasaan film Indonesia. Dibungkus dengan sentuhan cerita mengenai jurnalistik, kepolisian, dan yang menarik, ramalan Jayabaya. Sayangnya ada nuansa horor dengan memunculkan mahluk yang un-description. Dan klimaksnya adalah, ketika para penonton mengetahui bahwa Sang Ratu Adil yang selama ini ditunggu-tunggu ternyata adalah : seorang Gay!! Ada juga adegan persetubuhan yang tidak vulgar antara Fahri Albar dan Shanty, sebagai pemeran. Usai menonton, kami pun kembali ke basecamp, LPM HIMMAH.

Dan saya pun, semakin mencintai kota ini. Satu hari, untuk Selamanya..!!!!!

Friday, August 3, 2007

ENTREPRENEUR'S CREDO

Excerpt from Common Sense, written in 1776 by Thomas Paine.

ENTREPRENEUR'S CREDO

I do not choose to be a common man,
It is my right to be uncommon ... if I can,
I seek opportunity ... not security.
I do not wish to be a kept citizen.
Humbled and dulled by having the
State look after me.
I want to take the calculated risk;
To dream and to build.
To fail and to succeed.
I refuse to barter incentive for a dole;
I prefer the challenges of life
To the guaranteed existence;
The thrill of fulfillment
To the stale calm of Utopia.
I will not trade freedom for beneficence
Nor my dignity for a handout
I will never cower before any master
Nor bend to any threat.
It is my heritage to stand erect.
Proud and unafraid;
To think and act for myself,
To enjoy the benefit of my creations
And to face the world boldly and say:
This, with God's help, I have done
All this is what it means
To be an Entrepreneur.

Saya mendapatkan kredo ini dari kawan saya, Kriskuarto Tutuko (bomboh) mantan ketua Mapala UI. Berguna untuk orang yang tertarik pada dunia enterpreunership dan orang teknik Industri seperti saya. Mari ciptakan lapangan kerja!!

Serinai Kidung Sang Pengabdi

Foto By : kiky kurniawan

Potret pengabdian tanpa pamrih para abdi dalem juru kunci keraton di tengah hiruk pikuk kehidupan yang serba pragmatis. Adakah penghargaannya?


SUASANA lengang pagi itu. Hanya ada beberapa orang sedang beristirahat di teras masjid. Gapura Paduraksa menjadi tugu penyambut kehadiran para pengunjung kompleks pemakaman Kotagede.

”Masuk gapura kedua ini, lurus aja Mbak,” tukas seorang ibu, memberi tahu dimana saya dapat bertemu para abdi dalem juru kunci.

Dua buah bangunan berdinding kayu tampak dipenuhi beberapa orang yang mengenakan baju beskap dan kain. Di tempat inilah para juru kunci melaksanakan tugasnya sehari-hari sebagai abdi dalem keraton. Pada dinding bangunan tertempel beberapa foto kegiatan para juru kunci dan peraturan di Makam Kotagede. Beberapa juru kunci terlihat sedang membersihkan pelataran tanpa menggunakan alas kaki.

“Honggo Budoyo,” ujarnya ketika memperkenalkan diri. Lelaki berumur 51 tahun ini merupakan salah satu juru kunci di makam tersebut`. Hari itu ia yang bertugas menerima tamu dan mencatat para peziarah yang mengunjungi makam. Diatas meja tugasnya, tergeletak buku tamu, kotak amal serta rokok kretek ber-merk Lodjie. Beberapa juru kunci lainnya terlihat sedang berbincang-bincang santai dibelakang tempat duduk kami.

Sama halnya dengan komplek di Makam Imogiri dan Makam Kotagede, juru kunci keraton pun dibedakan menjadi juru kunci Surakarta dan Yogyakarta. Honggo sendiri merupakan abdi dalem juru kunci Surakarta. Di makam Kotagede ini, juru kunci Yokyakarta berjumlah 40 orang dan Surakarta 15 orang. Mayoritas juru kunci merupakan masyarakat yang bertempat tinggal didaerah sekitar makam.

Honggo kemudian menuturkan ihwal ia menjadi juru kunci di makam tersebut. “Bapak saya yang menyuruh. Katanya, karena saya sudah menikah.” ujarnya. Tapi Ia tak langsung mengiyakan perintah ayahnya itu. Baru beberapa tahun setelah menikah, ia mau mengikuti proses magang sebagai abdi dalem. Sebelum menjadi abdi dalem, memang ada peraturan untuk menjalani kegiatan magang terlebih dahulu. Setelah melewati masa magang selama tiga tahun, Honggo kemudian diangkat sebagai abdi dalem tetap. Ia lalu diberi kekancingan, yaitu sejenis surat pengangkatan jabatan. Waktu magang para juru kunci tidak tentu. “Ada yang tiga, lima tahun, bahkan ada yang sampai 12 tahun,” tukas Honggo sambil sesekali terbatuk. Oleh ayahnya, ia dibekali wejangan untuk bekerja dengan baik, serta tidak mengecewakan ketua. Sampai sekarang, Ia berusaha mematuhi perkataan ayahandanya tersebut.

Walaupun sudah mengabdi selama 22 tahun, pangkat Honggo sebagai abdi dalem masih seorang jajar. Ia menuturkan bahwa urutan jabatan abdi dalem Keraton Surakarta bermula dari seorang jajar, lurah muda, lurah tua, mantri, penewu, raden tumenggung kemudian yang terakhir adalah KRT atau Kanjeng Raden Tumenggung. Sedangkan untuk Keraton Yokyakarta yaitu jajar enom, jajar sepuh, lurah, mantri, penewu, wedana, riyo, bupati anem, bupati, bupati kiwo dan yang tertinggi adalah nayoko.

Abdi dalem juru kunci makam Kotagede sendiri dibawah naungan pimpinan yang berada di Makam Imogiri. Juru kunci Surakarta dipimpin oleh KPH Suryo Negoro, sedang Yogyakarta dipimpin oleh KRT Hastono Nagoro. Mereka inilah yang berhak mengangkat dan memecat seorang abdi dalem juru kunci.

Ketika ditanya mengenai suka duka kehidupan seorang juru kunci keraton, Honggo dengan cepat menukas, “ Wah, kalau dukanya itu nggak ada, hatinya itu selalu senang.” Ia kemudian menambahkan, “Pokoknya hidupnya tenteram.” Selama wawancara, Honggo yang tamatan Sekolah Dasar ini memang kerap mengatakan bahwa ia hanya mencari ketentraman batin sebagai abdi dalem.

Tidak ada kriteria khusus atau prasyarat tertentu untuk menjadi abdi dalem juru kunci kedua makam keraton ini. Orang luar pun dapat masuk asalkan bisa lulus seleksi selama magang. Waktu pembukaan pendaftaran menjadi juru kunci, menurut Honggo tidak menentu.

Selang beberapa waktu kemudian, beberapa juru kunci terlihat meninggalkan pelataran makam dengan terburu-buru. Honggo menjelaskan bahwa mereka abdi dalem juru kunci Yokyakarta yang sedang dipanggil pihak keraton untuk menerima jatah beras. Jatah beras tersebut, baik dari Keraton Yokyakarta atau Surakarta, menurutnya tidak tiap bulan didapat. Hanya pada waktu tertentu yang ditetapkan oleh keraton.

Ketika disinggung masalah gaji, Ia menuturkan bahwa bukan gaji, tapi blanjan, atau uang belanja. “Kalau gaji berpuluh-puluh ribu, mbak,” ujarnya sambil tertawa. Ia menambahkan bahwa gaji seorang abdi dalem Surakarta berkisar 50-500 ribu. Ini tergantung pada jabatan abdi dalem tersebut. Honggo, yang masih seorang jajar, digaji Rp. 55.000 per bulan. Sedang abdi dalem jajar Keraton Yogyakarta, lanjut Honggo, hanya Rp. 4.700 per bulan. Dari belakang, rekannya sesama juru kunci ikut menambahkan, “Dibulatkan saja mbak, jadi Rp.5000,”

Sebelum menjadi juru kunci, Honggo mempunyai kerja sambilan sebagai pengrajin perak Kotagede. “Sekarang saya nganggur, sudah tua,” ucapnya sambil menerawang. Ia mengaku tidak tertarik berpindah ke pekerjaan lain. Honggo juga mengungkapkan harapannya untuk bisa menjadi abdi dalem juru kunci sampai akhir hayatnya. Itupun, katanya, jika tidak ada halangan.

Istri dan dua orang anak Honggo tidak merasa keberatan dengan pekerjaannya sekarang. Mereka merasa bangga ayahnya menjadi abdi dalem keraton. Kedua anak Honggo tidak ada yang bisa meneruskan pekerjaannya karena keduanya adalah anak perempuan. Untuk membantu keuangan keluarga, istrinya lantas menjadi penjahit di rumah.

Ditengah-tengah pembicaraan kami, datang seorang lelaki yang ingin berziarah. Honggo pun pamit sebentar untuk melayani tamu tersebut. Ia terlihat terampil membantu sang tamu mengenakan pakaian peranakan Jawa. Memang ada aturan pemakaian busana untuk memasuki makam keraton di Kotagede dan Imogiri. Peziarah lelaki wajib mengenakan beskap, kain dan blankon, sedangkan peziarah wanita memakai kemben dan kain. Peraturan lain yaitu pelarangan pemakaian perhiasan dan membawa kamera. Peziarah perempuan dalam memakai kemben biasa dibantu oleh istri abdi dalem. Peziarah tersebut kemudian diantar menuju makam oleh juru kunci lainnya.

Pekerjaan sehari-hari juru kunci selain melayani dan mengantar peziarah ke makam adalah membersihkan seluruh komplek makam. Bunga dari para peziarah yang berada diatas pusara dibersihkan setiap hari Kamis. Setiap bulan Maulud, para juru kunci juga mempunyai kegiatan menguras Sendang Seliran yang berada di komplek makam tersebut. Sendang Seliran sendiri terdiri dua buah sendang, yaitu Sendang Seliran Kakung milik Keraton Surakarta dan Sendang Seliran Putri yang dimiliki Keraton Yokyakarta.

Pekerjaan sebagai juru kunci dimulai pada pukul delapan pagi sampai jam delapan pagi lagi pada keesokan harinya. Juru kunci Yogyakarta bertugas giliran setiap enam hari sekali. Sedangkan juru kunci Surakarta, bertugas tiap lima hari sekali. Ada pembagian khusus dalam membawa kunci makam. Setiap limabelas hari sekali kunci berpindah tangan dari juru kunci Yogyakarta ke juru kunci Surakarta, dan sebaliknya.

Jam kerja juru kunci sendiri tidak terlalu mengikat. Jika salah seorang juru kunci mempunyai keperluan mendesak, ia bisa minta ijin kepada rekannya sesama juru kunci. “Misalnya saja saya mau mantenan, tinggal ngomong sama teman disini berangkat jam berapa,” kata Honggo.

Berjaga selama 24 jam sehari rupanya tidak menjadi alasan untuk mengeluh. Para tamu yang kerapkali datang pada malam hari tetap mereka layani. Honggo sebisa mungkin menahan pegal, karena terlalu lama duduk, jika banyak peziarah yang datang. Jika tidak, ia pun bisa merebahkan diri di ruangan juru kunci.

Honggo beserta juru kunci lainnya tidak membedakan setiap tamu yang datang. Kaya atau miskin, diterimanya dengan senang hati. Ia lalu menceritakan tentang pejabat-pejabat yang pernah berziarah di makam tersebut. “Pak Harto kalau kesini langsung masuk ruang dalam situ, menghindari kerumunan,” kata Honggo mengenang sang mantan presiden sambil menunjuk ruangan di sebelah kami.

Kekerabatan antar juru kunci pun terbilang sangat kuat. Iuran per orang sering dilakukan jika ada salah seorang dari mereka yang masuk rumah sakit atau terkena musibah. Tak hanya itu, abdi dalem Surakarta setiap malam Jumat Pon mengadakan tahlilan di masjid. Abdi dalem Yokyakarta sendiri, setiap malam Grebeg bulan Maulud dan tanggal 27 Rejeb Penanggalan Jawa, juga mengadakan tahlilan bersama. Kedua acara tersebut bertujuan untuk memperingati Maulid Nabi dan Isra Mi`raj.

Kedekatan antara para abdi dalem juru kunci dengan rajanya, yakni Sultan Hamengkubuwono X dari Yokyakarta dan Sunan Paku Buwono XIII dari Surakarta terkesan tidak terlalu dekat. Hal ini disebabkan adanya peraturan bahwa raja setelah diangkat tidak boleh mengunjungi makam. Tetapi sehari sebelum penobatan, calon raja wajib berziarah ke makam Kotagede dan makam Imogiri. Honggo sendiri mengaku tidak banyak tahu mengenai asal muasal peraturan-peraturan yang diterapkan dimakam tersebut.

Usia rupanya tidak membatasi seseorang menjadi seorang abdi dalem juru kunci. Di makam Kotagede juru kunci paling muda berusia 36 tahun dan yang tertua 90 tahun-an. “Yang paling tua ini sekarangudah nggak aktif, tapi tetap jadi abdi dalem,” tukas Honggo. Hastono Wahyudi, juru kunci paling muda, hanya tersenyum ketika saya menanyakan apakah gajinya sebagai abdi dalem dari Yokyakarta dapat mencukupi hidupnya.

Jabatan sebagai juru kunci makam keraton memang mayoritas turun-temurun dari para orang tua. Mereka biasanya menginginkan anaknya meneruskan pekerjaan mereka sebagai abdi dalem. Hal ini pula yang membuat Godho Rasiko mau menggantikan ayahnya menjadi juru kunci makam kotagede. “ Tapi disini cuma kerja sambilan mbak, saya juga kerja membantu praktek dokter spesialis kandungan,” tukasnya. Dalam menjadi juru kunci, ia hanya berniat mengabdi pada keraton.

Godho merupakan juru kunci yang baru diangkat beberapa hari pasca gempa 27 Mei silam. Bersama lima calon juru kunci lainnya, ia dilantik oleh KRT Suryo Negoro di tenda pengungsian Imogiri. Seperti Honggo, keluarganya tidak keberatan ia menjadi abdi dalem yang penghasilannya kecil. Salah seorang anaknya bahkan sedang menempuh kuliah di salah satu universitas swasta di Yogyakarta.

Saat itu Godho sedang berjaga di Pendapa Sapit Urang. Di pendapa ini terpampang lukisan Panembahan Senopati dan Kyai Ageng Pamanahan. Dari tempat tersebut, para peziarah diantar menuju bangunan inti makam. “Sebenarnya ini tempat juru kunci yang senior. Tapi karena semua pergi mengambil beras, jadi saya yang jaga,” ungkap Godho.

Ketika hari beranjak siang, saya berpamitan pada juru kunci makam Kotagede untuk menuju makam Imogiri. Sebelumnya tak lupa saya menengok Sendang Seliran yang terkenal dengan lele putihnya. Sendang tersebut biasa digunakan keluarga abdi dalem juru kunci untuk keperluan sehari-hari. Di lereng atas sendang, beberapa pekerja sedang memperbaiki bangunan makam yang rusak terkena gempa.

Makam Imogiri atau yang lebih terkenal dengan Pajimatan Imogiri, terletak 17 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta. Dari Kotagede, saya memerlukan waktu sekitar 20 menit dengan mengendarai sepeda motor. Disisi-sisi jalan menuju Imogiri, mata tertumpu pada keganasan bencana gempa yang meluluh-lantakkan wilayah ini.

Tiba disana, saya diantar seorang pemandu menuju kompleks makam. Di beranda masjid, saya bertemu dengan salah seorang juru kunci yang saat itu menjadi imam masjid. Namanya Daldiri R.Mangun Pamudjo. Kami pun berbincang-bincang di bangunan pendapa depan masjid.

Disisi kanan pendapa, terdapat tangga trap sewu menuju makam. Dinamakan trap sewu karena jumlah anak tangganya yang banyak, yakni 345 buah.

Lelaki yang akrab disapa Daldiri ini, sudah 43 tahun mengabdi sebagai juru kunci. Pangkatnya sendiri sudah naik menjadi seorang mantri. Berpuluh tahun bekerja menjadi juru kunci tidak membuatnya jenuh terhadap pekerjaan ini. Niat yang bulat sudah ia tandaskan dari awal bekerja.

Seperti juru kunci lainnya, Daldiri juga mengikuti jejak ayahnya dalam meniti pekerjaan ini. Kepada anak-anaknya, sang ayah menganjurkan agar ada sisi lanjutan ke generasi penerus. Tapi tidak semua saudaranya menjadi abdi dalem. “Adik saya, Prof. DR. Joko Sasmito, malah menjadi dosen di UGM,” ujarnya. Ia sendiri mengaku hanya lulusan Sekolah Teknik Menengah.

Ia pun kemudian menjalani magang di Makam Imogiri. Beberapa tahun setelah magang, ia mengaku didatangi macan putih. Macan yang disebut Kyai Kopek itu dipercayai sebagai jelmaan Sultan Agung. Oleh Bupati Makam Imogiri ia kemudian dikukuhkan sebagai abdi dalem juru kunci. Bupati tersebut meyakini kedatangan Kyai Kopek sebagai tanda bahwa dirinya sudah pantas diangkat jadi juru kunci.

Dari awal bekerja, yakni tahun 1963, Daldiri hanya digaji sebanyak Rp. 1.250,-. Seiring bertambahnya tahun, gajinya juga naik demi sedikit. “Tapi pertambahannya cuma berapa persen,” imbuhnya tanpa kesan mengeluh. Tanggal pemberian gaji pun tidak menentu. Dahulu, pada pemerintahan Sunan Paku Buwana XII gaji selalu diberikan tanggal enam atau tujuh awal bulan, tapi kini tidak lagi.

Senada dengan juru kunci lainnya yang saya temui, Ia juga mencari ketentraman sebagai abdi dalem. Tradisi mengabdi sendiri diyakini menjadi refleksi budaya Jawa yang menempatkan keraton sebagai sentral kehidupan. Sehingga, para abdi dalem mencari ketentraman hidup dari sentral kehidupan itu sendiri. Gaji atau blanjan, tidak menjadi orientasi hidup mereka.

Yang membahagiakan menjadi juru kunci menurut Daldiri, jika bisa berjabat tangan dengan para pejabat dan orang-orang terkenal. Hal lain ialah kalau dapat bertemu dan bertegur sapa dengan para peziarah yang datang. Hubungan antara juru kunci dan peziarah pun kerap berlanjut diluar urusan ziarah. Beberapa dari mereka bahkan masih ada yang mengiriminya sejumlah uang untuk menopang biaya hidup.

Pada awal mula ia menjadi juru kunci, ia sedikit mengalami kesulitan. Menurut penuturannya, makam Imogiri kala itu masih berupa hutan yang sangat gelap, baik siang ataupun malam hari. Untuk penerangan, ia hanya menggunakan mancung. Mancung adalah pucuk pohon kelapa. Bagian pohon itu kemudian dibelah-belah, dikeringkan kemudian dinyalakan sebagai obor. Sebelum ada listrik, alat penerangan berganti-ganti dari mancung, ting, sentir serta teplok. Saat menggunakan ting, Daldiri harus mengambil minyak di dekat terminal Imogiri per setengah gayung. Di waktu itu memang ada peraturan maksimal pengambilan minyak hanya setengah gayung. Ia pun harus rela bolak-balik mengambil minyak itu jika habis.

Untuk menambah penghasilan, ia juga mempunyai kerja sampingan. “Kalo nggak kerja disini, ya saya sering kepasar jualan jam atau sepeda,” tukasnya. Barang-barang tersebut, didapatnya dari teman-temannya sesama juru kunci. Ia biasanya berjualan di Pasar Imogiri. “Sekarang pasarnya hancur ya. Kena gempa,” ucapnya.

Walaupun digaji sedikit dari Keraton, Daldiri beserta juru kunci lain biasanya juga mendapat uang dari para peziarah yang berbelas kasih. “Ya kadang limaribu, sepuluh ribu, kadang kalau pejabat limapuluh ribu,” ungkapnya. “Seikhlas yang ngasih,” imbuhnya lagi. Tetapi pernah terjadi, dalam jangka waktu yang relatif lama, ia mengalami kekurangan uang. Sehari, ujarnya, ia hanya punya uang Rp.250,-. Uang itupun digunakan untuk membeli satu bungkus nasi sehari. “Minumnya minta penjualnya,” katanya sambil tersenyum mengenang masa-masa pahit.

Daldiri ketika saya temui terlihat mengenakan baju batik. Ia mengatakan karena sehabis shalat, jadi belum memakai pakaian dinas juru kunci. Lebih lanjut lagi, ia kemudian menjelaskan bahwa pakaian dinas abdi dalem Surakarta terdiri dari 12 pasang pakaian. Masing-masing pakaian dipakai jika ada acara atau kedatangan orang tertentu. Pakaian warna putih dikenakan kalau Presiden yang datang dan pakaian hijau dipakai jika yang datang berkunjung adalah seorang menteri. Pakaian untuk kunjungan ABRI, pejabat lain, ataupun untuk kegiatan tertentu pun dibedakan. Pakaian tersebut didapatkannya dari keraton. Berbeda dengan Surakarta, abdi dalem Yokyakarta hanya mempunyai satu stel pakaian dinas juru kunci. Pakaian yang berwarna lurik hitam atau biru tersebut, dibeli sendiri oleh masing-masing juru kunci.

Bekerja di makam rupanya tidak membuat Daldiri menjadi menghamba pada hal-hal yang mistis. “Pedoman saya hanya Al Quran dan Al Hadits!,” ucapnya mantap. Ia mengatakan bahwa memang banyak peziarah yang mencari berkah di tempat tersebut. Kalau bertemu dengan peziarah seperti itu, ia hanya bisa memberi saran agar jangan berbuat syirik. Beberapa diantara peziarah banyak juga yang minta didoakan oleh juru kunci. Biasanya mereka didoakan agar menjadi orang sukses. Peziarah seperti ini yang biasanya loyal memberi uang kepada para juru kunci. Para artis, kata Daldiri, banyak juga yang minta penglaris di tempat ini.

Beberapa tahun setelah menjadi abdi dalem, ia berusaha mengajak anak-anak sekitar untuk belajar mengaji di masjid makam Imogiri. Sampai sekarang, ia masih dipercaya menjadi salah satu takmir disitu. Masjid itu sendiri didirikan bersamaan dengan komplek pemakaman pada tahun 1632 M. Semua tubuh bangunannya masih asli. Tak terkecuali jam besar yang berdentang tiap jam sekali.

Ketika di tengah wawancara ada dua turis asing yang terlihat kebingungan, Daldiri kemudian menyapa mereka. Bahasa Inggrisnya terlihat fasih. Ia kemudian menyilahkan turis tersebut untuk naik keatas komplek makam.

Kenaikan pangkat abdi dalem juru kunci Yokyakarta terjadi setiap lima tahun sekali. Peraturan ini muncul sejak Sultan Hamengkubuwono X. Sedangkan abdi dalem juru kunci dari Surakarta tidak menentu. Tergantung pada kebijakan sang bupati, sebagai pimpinan. Pemecatan dan skorsing pun, tambah Daldiri, merupakan kewenangan penuh bupati. Sopan santun dalam menjawab, cara sungkem dan menginjak pendopo, merupakan beberapa contoh penilaian kepada seorang juru kunci.

“Saya berhati-hati kalau berbicara pada bupati. Saya kan bekerja udah lama, jadi udah tahun sikonnya,” ucap Daldiri. Tapi beberapa rekannya ada yang sudah terkena skors, bahkan dipecat.

Sayangnya, ia tak bisa meneruskan pekerjaan sebagai juru kunci pada keturunannya. Daldiri memilih hidup melajang. Sisi lanjutan sebagai juru kunci dari ayahnya pun tidak bisa dipenuhi olehnya. Ia hanya mengharap kesehatan badannya agar bisa terus bekerja sebagai juru kunci.

Saat terjadi gempa dua bulan yang lalu, ia sedang berada dimasjid makam. Juru kunci lainnya yang sedang bertugas, bergegas menuju rumah mereka yang roboh. Karena tidak berkeluarga, ia lantas disuruh pimpinannya untuk menjaga makam seorang diri. Gempa susulan yang kerapkali datang, diacuhkannya. Karena gempa itu pula, banyak bangunan makam yang hancur. Beruntung, rumahnya yang hanya berjarak sepuluh meter dari komplek makam, tidak rusak parah.

Karena gempa juga, makam Imogiri dan Makam Kotagede relatif sepi pengunjung dibanding hari biasanya. Hal ini tentu berimbas pada pendapatan penjual makanan sekitar makam, pemandu dan penjaga parkir yang mayoritas keluarga dari juru kunci.

Meski sehari-hari bergelut di pemakaman, ini tidak menjadikan lelaki berusia 64 tahun ini buta terhadap dunia luar. Dalam pembicaraannya, Daldiri kerap menyinggung mengenai masalah politik. Ia mengaku sangat mengagumi Amien Rais, yang menurutnya, mampu menumbangkan rezim Soeharto. Ia juga membicarakan perebutan tahta di Keraton Surakarta antara Hangabehi dan Tedjowulan. Sebagai abdi dalem, ia tentunya mendukung Raja yang ada di lingkup keraton, dalam hal ini Hangabehi. Walau begitu, ia juga mengemukakan kritiknya ke pada Sang Raja.

Karena pengabdian yang tinggi, Daldiri masih bertahan menjadi juru kunci makam keraton di usianya yang sudah berkepala enam ini.

Pengabdian pulalah yang membuat Giyanto mau menjadi seorang abdi dalem juru kunci. Lelaki yang bergelar Mas Ngabehi Jogokaryo ini, sudah 17 tahun menekuni pekerjaan sebagai juru kunci. “Orang yang pekerjaannya menjaga,” tukas Giyanto menjelaskan makna dari gelar tersebut. Pangkatnya sendiri sejajar dengan Daldiri, yaitu mantri.

Seperti layaknya para juru kunci yang lain, kesehariannya membersihkan makam dan melayani peziarah. Lelaki yang juga bekerja sebagai buruh tani ini, tinggal di Desa Ukirsari, Imogiri.

Anak sulung Giyanto juga mengikuti jejaknya sebagai abdi dalem juru kunci. Anaknya sendirilah yang berkeinginan menjadi seorang juru kunci. “Sekarang dia baru satu tahun magang,” ucap Giyanto. Ia sendiri sebenarnya menginginkan anaknya langsung diangkat tanpa proses magang.

Di Makam Imogiri kegiatan rutin juru kunci setiap tahun adalah Nguras Kong atau enceh. Pelaksanaannya pada bulan Syuro hari Selasa kliwon atau Jumat Kliwon. Prosesi pengurasan gentong tempat berwudhu ini dilakukan oleh keluarga keraton, para juru kunci, baru masyarakat awam. Air dalam enceh tersebut dipercaya dapat memberi kebaikan dalam kehidupan.

Menurut penuturan Giyanto, para peziarah yang datang jarang melanggar peraturan yang diterapkan. Selama menjadi juru kunci, hanya satu peristiwa yang membuatnya tidak berkenan dihati. Beberapa tahun silam, ada seorang pemuda yang datang berziarah ke makam. Setelah membagikan uang pada juru kunci, ia kemudian lari-lari diatas pagar makam dan tiduran di atap makam. “Tingkah lakunya kayak orang gila,” ujar Giyanto. Pemuda tersebut juga memecah kaca-kaca di makam Hamengkubuwono IX. Oleh para juru kunci dan masyarakat sekitar, lelaki ini kemudian ditangkap dan dipukuli. Anehnya, darah yang keluar bisa hilang dalam sekali usapan. Para juru kunci kemudian bersikap biasa saja terhadap peristiwa tersebut.

Meskipun jumlah juru kunci Makam Imogiri dan Kotagede lebih dari seratus orang, mereka tidak mempunyai paguyuban juru kunci makam keraton secara resmi. Walaupun begitu, rasa memiliki terhadap keraton telah mengikat para juru kunci kedalam persaudaraan yang kokoh.

Filosofi orang Jawa, Nrimo ing Pandum, atau menerima apa adanya, rupanya dipegang erat oleh para juru kunci. Mereka tidak pernah menyesal atas kehidupan yang mereka tempuh. Pekerjaan yang ingin mereka jalani sampai akhir hayat ini, menjadi gambaran falsafah hidup mereka.

Nilai keprojoan atau kedudukan sebagai abdi dalem keraton bisa jadi merupakan salah satu alasan seseorang bekerja di komplek –komplek makam keraton tersebut. Tapi nilai pengorbanan dan pengabdian, itu hal yang sulit ditemukan di sela-sela kehidupan Kota Yogyakarta, setidaknya pada masa ini.

Selesai melihat bangunan makam yang rusak, saya pun pulang. Menuruni tiap anak tangga trap sewu makam Imogiri. Menelaah kembali cermin kecil tempat merefleksikan kehidupan : sebagai juru kunci.

Ngomong-ngomong sudah setahun lebih tulisan ini saya buat. Banyak kekurangan di sana-sini. Masih kurang jeli dalam penggambaran dan harus lebih merinci hal yang tidak biasa. Gaya penulisan pun terkesan semau saya. Tapi saya sangat menghargai proses. Silahkan dikritik. Saya akan amat sangat menghargainya