Friday, September 7, 2007

Kini, Saya Seorang Buruh!!!


Banyak orang yang mengaku sebagai bagian dari apa yang dirasakan oleh para buruh di negara antah-berantah berjudul Indonesia ini. Dan sekarang, saya bisa bangga membilang, saya tahu pasti apa yang mereka jalani. Tentu tak bisa begitu saja berkata banyak, jika belum mencoba.

Jadi, alhasil sekarang saya menjadi seorang buruh. Benar-benar terjun menjadi buruh pabrik di tempat saya kerja praktek. Sebenarnya bisa saja saya hanya sok mengamati dan sok keminter dengan hanya di labolatorium produksinya saja. Tetapi tentu saja itu bukan Ranni muda yang saya kenal.

Hari pertama, sudah mengeluh dengan rasa kelu di kaki karena berdiri tiga jam. Hari-hari selanjutnya berjam-jam kontinyu menjadi buruh, alias operator bahasa jamaknya di dunia Industri. Memasukkan pintalan benang di mesin auto winding, membersihkan mesin spinning, memeriksa kualitas Ne di labolatorium, mengetahui seluk beluk mesin-mesin lain semisal drawing dan carding, dan menangani re-use waste.

Kesimpulan yang didapat : banyak pabrik di Indonesia tidak memanusiakan para buruh!!! Kebetulan saya kuliah di teknik industri sehingga sedikit banyak mengetahui mengenai ergonomi dan standar kenyamanan kerja.

Di pabrik tempat saya kerja praktek, kebetulan BUMN, tidak bisa dibilang ideal untuk kondisi pabrik yang baik. Cecurut masih saja nyelonong saat pemberian materi di ruang senior supervisor. Kantor disana terkesan kotor karena mungkin sudah berpuluh tahun tidak diperbaharukan segala sesuatunya. Debu yang beterbangan, AC mati, kebisingan yang mungkin sangat amat melebihi batas desible yang diharuskan, getaran lantai produksi yang diluar batas, kelembaban yang tinggi dan masih banyak lagi yang bikin anda serasa tidak menjadi manusia didalamnya. Standar kenyamanan kerja tidak diterapkan lagi.

Para buruh disini sudah terbiasa dengan keadaan. Atau mungkin menurut saya, memaksa diri untuk memperbiasakan keadaan itu. Secara teori, mereka harus menggunakan penutup telinga dan wearpack serta AC dan penyedot debu harus selalu dinyalakan. Alasan direksi, mereka harus menghemat biaya listrik dan biaya produksi agar perusahaan tidak selalu merugi. Di pabrik ini, komputer hanya ada satu dua. Bahkan bagian produksi tidak ada komputer. Para supervisor produksi pasti membawa kalkulator di saku celana atau baju mereka. Menghitung kecepatan spindle, kerugian dan urusan mesin yang harus selalu dihitung semisal ada kerusakan. Masih manual. Bahkan saya sering heran melihat orang-orang labolatorium yang setiap hari harus mencatat, menghitung, menganalisa kualitas dan kecacatan produk hanya dengan pena, kertas dan kalkulator. Setiap hari. Coba hubungkan hal ini dengan absurditasnya Camus.

Pak Mar, sang senior supervisor berseloroh melihat saya dan kawan-kawan sudah tewas berdiri beberapa jam. Lha operator itu bekerja delapan jam sehari hanya istirahat setengah jam saja mereka tidak berdiri, paparnya. Hah? Padahal mereka harus mondar-mandir dari pojok mesin satu ke pojok yang lain. Bahkan para supervisor dan senior supervisor juga harus berkeliling berjam-jam pula.

Penyakit yang timbul akibat tidak memenuhi standar keselamatan dan kenyamanan kerja ini, tidak main-main. Telinga pekak dan asma merupakan contohnya.

Upah mereka? Jangan ditanya. Semua sudah mengetahui rahasia ketidakadilan ini. inilah mungkin yang menjadi dilema saya dan beberapa anak teknik industri. Satu sisi kita dituntut untuk menurunkan biaya produksi dan mengoptimalkan hasil produksi, disisi lain, tentu kita masih banyak membaca buku-buku mengenai sistem perburuhan di Indonesia yang memberat sebelah.

Jadi, bagaimana idealisme tak membentur kenyataan, inilah tantangan.

No comments: