Tuesday, May 29, 2007

Sebagai Manusia Penghayat


Aku hidup tak lain dan tak bukan adalah sebagai penghayat. Mencoba menghayati sebagai subyek dan dihayati sebagai obyek. Cobalah untuk menyukai keterasingan. Sebab dengan merasa asing, keterhayatanmu akan segala sesuatu bisa menjadi hal yang sangat-sangat menarik. Dan, cobalah untuk menarik dirimu kesisi lain. Ingat sekali lagi, apakah kamu pernah melakukannya. Ah, aku sangsi.

Apakah memang kamu berpura-pura dalam hidupmu, itu terlihat jelas dalam suatu ragu. Buat apa diri pura? Aku sendiri sudah capek coba kelabui subyek hatiku. Dan kamu? Untuk saat ini, aku mohon, hentikanlah sandiwara itu. Aku tahu, fase itu belum terlampaui. Banyak memang, pura-pura itu menjadi kawan pengiring. Tapi, dari sekarang, enyahkanlah ia. Ia bangsat.

Aku menyukai teater. Aku menikmati teater, dan beribu tanya mengelanyut bersama mata yang memandangi pelakon-pelakon yang sedang ber-pura. Bilamanakah mereka juga memandang kehidupan seperti naskah cetak miring yang ada dalam genggaman itu? Sebuah salut untuk mereka. Dan sedikit kasihan.

Kembali sebagai manusia penghayat. Hanya satu hal yang cukup urgent menjadi manusia bergenre ini : Ia berani menjadi sebuah obyek. Bukan penghakim.

Sebuah kedalaman bisa diukur dari kedangkalan. Aku mengimaninya. Menjadi manusia penghayat cukup menyenangkan. Segala sesuatu yang terlihat nyata di ranah filosofis menjadi hal-hal yang datar untuk manusia jenis ini. Tapi bukan berarti membunuh karakter, ego dan super ego kita. Memandang kematian, kemarahan dan keberlaluan menjadi sebuah keberdataran, indah bukan? Inilah bukti kebenaran kata-kata Tuhan, keberimbangan adem-ayem dalam melihat segala sesuatu, janganlah terlalu sedih ataupun terlalu gembira. Semua ada waktunya. Ah, aku terkadang menjadi salah satu orang yang amat fatalis.

Aku menghayati mereka, orang-orang yang memunculkan diri dihadapanku. Aku begitu menikmati peristiwa bocornya ban-ku dan kunikmati raut muka si tukang tambal ban yang sudah kemerut kerut. Aku menyukai kesepian sekaligus keramaian. Begitu kunikmati orang-orang itu. Kucuri dari mereka sebuah ilmu keterhayatan. Dan mereka tidak tahu.

Kenang-kemenang Benoa

Bantul, 27 Mei 07

Hari ini aku ikut mengenang satu tahun gempa di salah satu pedukuhan di kecamatan Sewon, Bantul. Semalaman begadang maen poker membuat tubuhku di subuh hari itu terasa sedikit lemas. Untunglah perut sudah kenyang terisi sate lontong. Melihat penduduk sudah menuju Masjid untuk shalat subuh dan berdoa bersama, aku segera bersigegas mengambil air wudhu. Segar, tapi kantuk masih mengelanyut. Tiba di masjid, aku mengambil posisi paling belakang. Kata Muhammad, shaf terakhir bagi wanita lebih utama, kuiyakan saja. Yenni, salah satu anak-anak di pedukuhan itu, datang bersama mamaknya. Kulambaikan tangan agar ia menemaniku. Matanya masih sembab. Ah, enaknya, aku tidak merasakan enaknya tidur malam ini sepertinya. Mbak, yang lain mana? Ujarnya, menanyakan kawan-kawanku yang sebagian masih tidur.

Seusai shalat, kami berdoa bersama. Tidak terasa air mataku jatuh, mengenang setahun yang lalu. Maaf Tuhan, aku cengeng. 27 Mei 06. Takkan aku lupa hari itu. Saat aku harus terbangun karena goncangan di tempat tidurku yang tidak bisa ditolerir. Ku kira merapi sedang muntah lahar, ternyata ada gempa bumi. Saat aku sendirian kendarai motorku menuju kaliurang karena isu tsunami, aku tahu, kukira saat itulah tuhan akan jemput aku. Dan aku ingat tangisku setahun kemarin. Seperti makan buah simalakama, naik ke atas bertemu api merapi kebawah bertemu air tsunami, yang sialnya, tsunami hanya isu orang kurang kerjaan. Tapi tak apa, tuhan sedang tegur aku. Kulihat orang-orang disekitarku, mereka yang rumahnya hancur saja tidak menangis. Tapi aku tahu, trauma mereka lebih dalam daripada yang kurasa.

Pukul setengah enam acara dilanjutkan dengan detik-detik gempa pukul 05.57. Setelah itu, bersama karang taruna, aku dan teman-temanku ikut membagikan bunga dan stiker kepada para pengendara kendaraan bermotor di jalan Parangtritis di dukuh itu. Aku dan Salsa, ada di barisan depan. Ku bantu tangan kecil Salsa memberikan bunga pada para pengendara. Sesekali raut mukanya nampak kecewa karena beberapa pengendara tidak mau berhenti. Ah, Salsa kecil yang selalu tersenyum, besok mungkinkah kita bertemu lagi?

Insiden kecil sempat terjadi. Ada salah satu motor yang menabrak motor didepannya. Agak kusesalkan juga sih. Karena ini aksi damai, tapi harus ada kejadian seperti itu.

Setelah itu berakhir, aku bersama teman-temanku kemudian pergi ke Pantai Depok. Foto-foto naik kapal. Ah, ABR-ku .. kalian kok kurang ajar sama saya... (NB: ABR means Anak Buah Ranny....!!!)

Selamat Datang, Sepi..


Stasiun Tugu, 20 April 2007

Yang tersisa hanyalah rasa sepi. Pyufh.. , lantunan Because of You-nya Keith Martin mengalun dari ponselku. Kakakku. Lima menit lagi aku nyampe stasiun, Ndut, ujarnya tak lupa ia menyapaku dengan panggilan kesayangannya. Iya Tet, aku tunggu di depan loket, tukasku. Setelah memarkir motor, aku melangkah menuju bangunan stasiun. Bangunan yang terlihat dimataku seperti bangunan stasiun Kiara Condong.

Entah kenapa aku bisa terperosok seperti ini. Menginginkan seseorang yang benar-benar ‘Unintended’. Cara merindukan seseorang dengan langkah yang aneh dan tidak wajar. Bagaimana bisa wajar kalau hanya bertemu tiga kali, aku bisa berubah haluan dari wanita yang sangat angkuh menjadi wanita semi-agresif? Bagaimana bisa disebut wajar kalau aku menginginkannya hanya karena ia lelaki yang suka menulis sepertiku pula? Sepuluh menit berlalu. Ah, dimana kakakku. Mataku nyalang mencari-cari sosok sedarahku itu. Aku sudah tidak kuat lagi. Sandaran tubuhku di dinding merosot. Posisiku kini berganti menjadi jongkok, dengan tangan menopang kening dan kepala menunduk. Itulah saat aku merasa sepi. Sepi karena jeda detik terasa sangat menganggu. Aku ingin jatuh hati dengan cara yang normal, Mas, kuingat aku pernah berujar pada salah sahabat yang juga mengenal lelaki itu. Tidak seperti ini. Kembali aku coba menghitung bilangan hela di senja itu. Terlihat sepasang perempuan dan lelaki telah asyik masyuk berdua. Ah, dunia, aku sedang jatuh ke bawah rupanya.

Siapa aku, tak kuasa atas diriku sendiri, kau bilang. Dan kita tak mungkin menjadi satu. Bangsat tampanku, ladang Golgota dan Padang Mahsyar memang tak senandung. Dan ketika aku tak mengiyakan ketika kau tawarkan kelaminmu, aku tahu, aku tidak mencintaimu.

Ndut.., terdengar sapaan di telingaku. Ah, kakakku. Kamu, kenapa? Yuk masuk yuk, mas Herry udah nunggu di lobby, tuturnya heran melihat keadaanku yang memang sedikit mengkhawatirkan. Aku pun kemudian mengekor dibelakangnya menuju tempat kekasihnya berada. Aku melihat kereta-kereta itu beranjak menuju stasiun pemberhentian selanjutnya. Ingatan membuangku ke masa pertama kali aku mencicipi bisingnya kereta ekonomi. Bersama dua sahabatku, Zimen dan Awan. Sahabat yang dalam jangka waktu yang terpisah pernah ku bertengkar hebat dengan mereka. Ah, maafkan aku.. . Jika kuingat lagi hangatnya sandaran dan pelukan persahabatan bersama mereka, aku pun hanya bisa merasa bersalah. Kereta ekonomi yang menawarkan kebisingan yang bungkam. Pikiran pun melompat kembali ke lelaki itu. Dia juga di kota yang sama dengan kakakku. Terasa kosong. Hanya itu yang tersisa. Aku sudah letih menunggunya setahun ini. Karena ikut menjadi relawan gempa, aku menemukannya diserpihan orang-orang itu. Aku tidak menyalahkan keadaan. Tuhan selalu memberikan apa yang aku mau, tapi tidak untuk kali ini.

Ingin rasanya aku masuk kegerbong kereta yang membawa kakakku pergi, untuk sekedar menemuinya di kota itu, dan memeluk bangsat tampanku. Ucapan kakakku kemudian seolah menyadarkan. Ndut, kalo kamu pulang duluan ga papa, ini uangnya, ujarnya sambil mengangsurkan beberapa lembar uang ratusan ribu. Aku hanya mampu mengucapkan terimakasih dan mengingatkan agar Ia berhati-hati. Gontai aku melangkah keluar. Orang-orang yang duduk di kursi-kursi peron melihatku dengan cara yang aneh. Tak apa, ini saat yang tepat bagi mereka untuk melihat badut sepertiku berpolah.

Kini, aku berhak atas hidupku. Tersebut ia sebagai luka. Menganga. Bahwa kau bukan segalaku. Tapi aku tahu, bahwa kau lelaki pertama yang sangat kuingini. Ciumlah mata-ku sekali sahaja, bangsat tampanku.. sebelum aku benar-benar mati..

Dan Stasiun Tugu mengejekku dengan seringainya yang tampak menakutkan...

Monday, May 21, 2007

semua berawal dari selangkangan atau buah larangan?

Tiba teringat pada seorang kawan lama yang tergemarkan ritual ritme baru, mengelinjang. Hobi yang otentik kupikir. Tak terkira, perempuan kini berani menabu apa yang tabu, merongrong apa yang terbentuk di alam pikir mereka sendiri. Kenapa perempuan harus dari tulang rusuk, tidak dari tulang tengkorak atau tulang kering sahaja? Sebab perempuan tidak dibawah atau diatas keberimbangan lelaki. Ini terkait dengan pernyataan: perempuan belum sejajar dengan lelaki. Berbalik tanya, apanya? Ini masalah pola pikir dan habituari! Sekira ini cuma penandas dari tulisan sebelumnya. Kita sudah sejajar dengan lelaki. Sekali lagi, ini cuma masalah pola pikir. Kita sudah sejajar, hanya suara pejuang sok feminis-lah yang semakin menandaskan batas, bahwa lelaki adalah sebuah kiblat imajiner relationship antar gender. Sebab perempuan memposisikan dirinya sebagai yang tertindas dan yang terbelakang. Dan beberapa diantaranya tidak mau menjadi manusia pembelajar. Terandai perempuan mau berdikari.

Di lain otak kawan perempuanku, feminis abis, dengan kalimat yang mengebu kena kesejajaran, mematri menjadi budak nafsu lelaki. Tak satu kata dengan sangat, pada poligini (kukira kawan2 bisa bedakan dengan poligami), tapi sedekah tubuh jalan terus. Kasihan sekali. Pada inilah, aku lebih menyelami sebuah pembelajaran keberimbangan. Hal yang menarik kupikir.

Terbenak, perempuan selalu menistakan diri karena takut tak terbeli (euphisme dari: ga laku), dan kekerasan fisik. Suami maen pukul, hajar balik. (he..) Maaf kalo sedikit sarkas. Kekerasan fisik kukira cuma alibi, kalo tidak merupakan alasan yang merupakan pembenaran. Aku selalu bangga, bahwa belum pernah keluar dari mulutku ini, tandasan kalau aku seorang feminis atau destroyer dari budaya patriarki. Mungkin hal ini dilatarbelakangi oleh keadaan keluargaku yang bebas aktif ya. Bebas dalam mempelajari segala sesuatu dan aktif mempertanyakan kembali. (mas wiji thukul, maaf kata-katamu ke-tutur..). kiranya aku harus mengucap terima kasih pada orangtuaku yang mengajariku melalui sikap, dan sedikit kata.

Hari gini kalau ngomongin feminisme dari wacana patrialkal, agak basi kukira. walo hal ini takkan pernah basi. Ada hal yang lebih menarik untuk dibahas. Mengenai menstrual taboo. Di semua agama abrahamic, isu ini cukup mencuat dan menarik untuk dibahas. Apalagi kalo dikaitkan dengan buah larangan. Dan selangkangan. Hmm... . Dari pertanyaan kecil semacam kenapa perempuan dalam islam tidak boleh menjadi khatib, ke pertanyaan tentang penistaan agama yahudi terhadap perempuan yang dianggap makhluk kotor karena darah ini, dan agama katholik dan protestan terkait isu ini. Di antara kutukan perempuan yang paling monumental ialah menstruasi. Teologi menstruasi ini kemudian menyatu dengan berbagai mitos yang berkembang dari mulut ke mulut (oral tradition) ke berbagai belahan bumi.

Teologi mengenai menstruasi dianggap berkaitan dengan pandangan kosmopolitan terhadap tubuh wanita yang sedang menstruasi. Perilaku perempuan di alam mikrokosmos diyakini mempunyai hubungan kausalitas dengan alam makrokosmos. Peristiwa-peristiwa alam seperti bencana alam, kemarau panjang dan berkembangnya hama penyebab gagalnya panen petani dihubungkan dengan adanya yang salah dalam diri perempuan.

Darah menstruasi dianggap darah tabu (menstrual taboo) dan perempuan yang sedang menstruasi menurut kepercayaan agama Yahudi harus hidup dalam gubuk khusus, suatu gubuk yang dirancang untuk tempat hunian para perempuan menstruasi atau mengasingkan diri di dalam goa-goa, tidak boleh bercampur dengan keluarganya, tidak boleh berhubungan seks, dan tidak boleh menyentuh jenis masakan tertentu. Yang lebih penting ialah tatapan mata dari mata wanita sedang menstruasi yang biasa disebut dengan "mata iblis" harus diwaspadai, karena diyakini bisa menimbulkan berbagai bencana. Perempuan harus mengenakan identitas diri sebagai isyarat tanda manakala sedang menstruasi, supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap menstrual taboo. Dari sinilah asal-usul penggunaan kosmetik yang semula hanya diperuntukkan kepada perempuan sedang menstruasi. Barang-barang perhiasan seperti cincin, gelang, kalung, giwang, anting-anting, sandal, selop, lipstik, shadow, celak, termasuk cadar ternyata adalah menstrual creations.

Upaya lain dalam mengamankan tatapan "mata iblis" ialah dengan menggunakan cadar yang dapat menghalangi tatapan mata tersebut. Kalangan antropolog berpendapat menstrual taboo inilah yang menjadi asal-usul penggunaan kerudung atau cadar. Cadar atau semacamnya bukan berawal dan diperkenalkan oleh Agama Islam dengan mengutip "ayat-ayat jilbab"dan hadits-hadits tentang aurat. Jauh sebelumnya sudah ada konsep kerudung/cadar yang diperkenalkan dalam Kitab Taurat dan Kitab Injil. Bahkan menurut Epstein, ketentuan penggunaan cadar sudah dikenal dalam Hukum Kekeluargaan Asyiria (Assyrian Code). Ada referensi lain?

Pernah mendengar penelitian di amerika mengenai kehidupan feminis di negara paling tidak demokratis itu? Para feminis mengalami beberapa tekanan kejiwaan dan mereka tidak puas dengan kehidupan yang mereka perjuangkan itu, setelah mereka mendapatkannya. Come on, idealis boleh, tapi jangan di ucap sahaja. Setengah realis ga masalah kok. Bukan berarti kita tidak prinsipil. Tapi bukan berarti kita menjadi tumpul. Perempuan, mari kita berdikari.

Pukul 03.00, di ruang huruf. Damn coffemix yang kutenggak di angkringan code, bikin mata selayak malas tersua. Insomnia murahan. Dan atas ketidakbisaan ku tidur lagi setelah sujud, jadi, ku kan hanya menikmati 2,5 jam untuk ritme tidur. Hobi ganggu orang dengan miscol pun muncul. Hehehe...

Sekali lagi, Perempuan, mari kita berdikari.

dilingkupi ruang dan batasan

Memang pada dasarnya manusia hanya berkeinginan mencari kebenaran, berkaitan dengan keberadaannya di bumi. Tetapi seringkali ini disalah-artikan menjadi mencari pembenaran. Tidak jauh-jauh, pun saya. Tak jarang alasan-alasan yang keluar dari mulut saya hanya untuk sebuah pembenaran dari sikap dan keputusan yang saya ambil. Bukan alasan itu sendiri.

Mengapa ada kecenderungan manusia untuk melihat kekurangan orang lain dibandingkan dengan kekurangan diri sendiri? Simpel saja, sebab si diri merasa telah melakukan pembenaran atas semua hal yang telah dia tempuh. Jarang ada manusia yang melakukan hal yang dia anggap tidak dapat dibenarkan. Saya bilang jarang, bukan berarti saya sendiri tidak melakukannya. Saya melakukan.

Nah, yang menjadikan hal ini begitu rumit adalah ketika kita bertemu dengan kata pembatas dan batasan. Ya kalo di teknik industri ya pemrograman linier... , batas antara pembenaran dan kebenaran itu terletak dimana terkadang kita tidak dapat mendeskripsikan hal itu dengan sebuah ilmu pasti. Terlebih lagi jika hal ini dikaitkan dengan pluralitas kita sebagai individu dalam berpikir. Hukum tuhan, mungkin dapat sedikit berbicara. Tapi kenapa saya menulis “sedikit” ya? Dan juga kenapa saya tulis “tuhan”, bukannya “Tuhan” ? Sebab tuhan tidak butuh huruf kapital.

Inti dari prolog yang berlebih tadi ialah: manusia selalu memenuhi benaknya untuk melakukan pembenaran atas segala hal yang telah dia lakukan. Seberapa salah pun itu. Sebab itu memang kodrat manusia. Dari sini terlihat sepersepuluh ke-fatalisan saya ya? Itu menurut pendapat saya. Boleh lah tidak setuju.

Epilognya:
Pramoedya Ananta Toer dalam Khotbah dari Jalan Hidup mengatakan, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Jadi,seberapa ga berkualitas tulisan kamu, seberapa kacau pikiran kamu sewaktu menulis, tulislah. Sebab itu dapat mengambarkan diri kamu. Siapa tau kamu dapat menilai diri kamu dari tulisan kamu sendiri tanpa harus melihatnya dari cermin mata orang lain. Istilahnya tulisan yang reflektif lah, kalo saya bilang. Kalau saya menulis sih, karena kalau saya ngomong : kasihan yang ngedengerin, sakit kupingnya, hehehe…