Tuesday, May 29, 2007

Selamat Datang, Sepi..


Stasiun Tugu, 20 April 2007

Yang tersisa hanyalah rasa sepi. Pyufh.. , lantunan Because of You-nya Keith Martin mengalun dari ponselku. Kakakku. Lima menit lagi aku nyampe stasiun, Ndut, ujarnya tak lupa ia menyapaku dengan panggilan kesayangannya. Iya Tet, aku tunggu di depan loket, tukasku. Setelah memarkir motor, aku melangkah menuju bangunan stasiun. Bangunan yang terlihat dimataku seperti bangunan stasiun Kiara Condong.

Entah kenapa aku bisa terperosok seperti ini. Menginginkan seseorang yang benar-benar ‘Unintended’. Cara merindukan seseorang dengan langkah yang aneh dan tidak wajar. Bagaimana bisa wajar kalau hanya bertemu tiga kali, aku bisa berubah haluan dari wanita yang sangat angkuh menjadi wanita semi-agresif? Bagaimana bisa disebut wajar kalau aku menginginkannya hanya karena ia lelaki yang suka menulis sepertiku pula? Sepuluh menit berlalu. Ah, dimana kakakku. Mataku nyalang mencari-cari sosok sedarahku itu. Aku sudah tidak kuat lagi. Sandaran tubuhku di dinding merosot. Posisiku kini berganti menjadi jongkok, dengan tangan menopang kening dan kepala menunduk. Itulah saat aku merasa sepi. Sepi karena jeda detik terasa sangat menganggu. Aku ingin jatuh hati dengan cara yang normal, Mas, kuingat aku pernah berujar pada salah sahabat yang juga mengenal lelaki itu. Tidak seperti ini. Kembali aku coba menghitung bilangan hela di senja itu. Terlihat sepasang perempuan dan lelaki telah asyik masyuk berdua. Ah, dunia, aku sedang jatuh ke bawah rupanya.

Siapa aku, tak kuasa atas diriku sendiri, kau bilang. Dan kita tak mungkin menjadi satu. Bangsat tampanku, ladang Golgota dan Padang Mahsyar memang tak senandung. Dan ketika aku tak mengiyakan ketika kau tawarkan kelaminmu, aku tahu, aku tidak mencintaimu.

Ndut.., terdengar sapaan di telingaku. Ah, kakakku. Kamu, kenapa? Yuk masuk yuk, mas Herry udah nunggu di lobby, tuturnya heran melihat keadaanku yang memang sedikit mengkhawatirkan. Aku pun kemudian mengekor dibelakangnya menuju tempat kekasihnya berada. Aku melihat kereta-kereta itu beranjak menuju stasiun pemberhentian selanjutnya. Ingatan membuangku ke masa pertama kali aku mencicipi bisingnya kereta ekonomi. Bersama dua sahabatku, Zimen dan Awan. Sahabat yang dalam jangka waktu yang terpisah pernah ku bertengkar hebat dengan mereka. Ah, maafkan aku.. . Jika kuingat lagi hangatnya sandaran dan pelukan persahabatan bersama mereka, aku pun hanya bisa merasa bersalah. Kereta ekonomi yang menawarkan kebisingan yang bungkam. Pikiran pun melompat kembali ke lelaki itu. Dia juga di kota yang sama dengan kakakku. Terasa kosong. Hanya itu yang tersisa. Aku sudah letih menunggunya setahun ini. Karena ikut menjadi relawan gempa, aku menemukannya diserpihan orang-orang itu. Aku tidak menyalahkan keadaan. Tuhan selalu memberikan apa yang aku mau, tapi tidak untuk kali ini.

Ingin rasanya aku masuk kegerbong kereta yang membawa kakakku pergi, untuk sekedar menemuinya di kota itu, dan memeluk bangsat tampanku. Ucapan kakakku kemudian seolah menyadarkan. Ndut, kalo kamu pulang duluan ga papa, ini uangnya, ujarnya sambil mengangsurkan beberapa lembar uang ratusan ribu. Aku hanya mampu mengucapkan terimakasih dan mengingatkan agar Ia berhati-hati. Gontai aku melangkah keluar. Orang-orang yang duduk di kursi-kursi peron melihatku dengan cara yang aneh. Tak apa, ini saat yang tepat bagi mereka untuk melihat badut sepertiku berpolah.

Kini, aku berhak atas hidupku. Tersebut ia sebagai luka. Menganga. Bahwa kau bukan segalaku. Tapi aku tahu, bahwa kau lelaki pertama yang sangat kuingini. Ciumlah mata-ku sekali sahaja, bangsat tampanku.. sebelum aku benar-benar mati..

Dan Stasiun Tugu mengejekku dengan seringainya yang tampak menakutkan...

No comments: