Thursday, February 17, 2011

Berdikari Sebagai Wanita.

Jangan tuduh saya sebagai feminis ketika menulis ini. Hanya ingin menulis. Tidak lebih.


Ada hal yang sedikit menganggu pikiran ketika ada seorang lelaki membilang kepadaku, bahwa sifat toleransi ku lemah. Jangan sama kan semua perempuan memiliki kekuatan seperti yang kamu punya, ujarnya. Tidak semua perempuan dianugerahi pemikiran seperti itu. Cobalah ada pada posisi mereka yang lemah.

Dia benar. Sangat benar. Sifat toleransiku memang rendah. Tuhan sangat baik hati terhadapku. Memberiku sedikit sifat lelaki, memberi kadar feminim dan maskulin yang prosentasenya sangat pas menurutku.

Dahulu aku menganggap mereka, perempuan perempuan itu yang kukira begitu lemahnya, tersakiti karena mereka memang menyediakan diri untuk disakiti. Kalau aku, pasti akan aku lawan. Dahulu aku tidak mengerti kenapa mereka tidak bisa melawan ketika suami mereka bertindak sewenang wenang terhadap badan dan kehormatannya sebagai wanita. Aku tidak bisa memahami kenapa mereka hanya pasrah saja diperlakukan demikian.

Aku juga tidak mengerti kenapa harus ada paham feminisme, kenapa harus ada kata kata belum sejajarnya perempuan dengan lelaki, bias gender dan lain lain. Karena yang aku tahu, selama hidup aku diperlakukan sama saja oleh lingkunganku. Tidak pernah dibeda bedakan apakah aku perempuan ataupun lelaki.

Aku dihormati lingkunganku bukan karena aku lelaki ataupun perempuan.

Aku merasa diperlakukan sewajarnya.

Karena aku memposisikan diri sebagai perempuan yang memang sejajar dengan lelaki.

Tetapi aku lupa, tidak semua manusia, perempuan pada khususnya, bisa seragam dalam berpikir, terlebih lagi dalam bertindak.

Setelah usia kian bertambah, pengalaman hidup pun tentu bertambah. Mata dan batin semakin kaya. Semakin banyak melihat kenyataan di luar sana, bahwa perempuan banyak yg menjadi marjinal. Tentunya bukan keinginan mereka untuk menjadi seperti itu. Entah kenapa, mungkin rasa sayang mereka kepada pasangan, kepada anak anak yang mereka lahirkan, yang membuat mereka seperti ini. Atau karena mereka tidak mampu berdikari?

Berdikari sebagai perempuan.
Bukan berarti meremehkan kodrat lelaki sebagai pemimpin keluarga. Bukan berarti mengecilkan peran lelaki sebagai pasangan jiwa, ataupun mengecilkan peran mereka sebagai pencari nafkah.

Bukan, bukan itu.

Berdikari sebagai perempuan, menurutku adalah kekuatan dari kita sebagai perempuan untuk berhak lepas dari perasaan tersakiti. Fisik maupun batin. Menjadi mandiri. Menjadi perempuan kuat, perempuan tangguh. Tidak banyak mengeluh ketika banyak hal yg tidak sesuai dengan keinginan kita.

Berdikari.
Berdiri diatas kaki sendiri, kata Soekarno.

Bahwa kita mampu. Mampu melawan. Mampu berkata tidak. Adalah hak kita untuk merasa bahagia.

Katakan tidak ketika pasanganmu melecehkan mu secara seksual atas nama cinta. Adalah hak kamu untuk mendapatkan pasangan yang baik, dan setia. Dan lelaki yg tidak menggunakan tangannya untuk menyelesaikan masalah.

Kalau memang naluri mereka seperti itu, lakukan preventing. Pintar pintar nya kamu untuk mengelola pasanganmu. Yang pasti, jangan pernah menyediakan diri untuk menjadi perempuan yang mau untuk disakiti.

Jangan pernah tergantung kepada sesuatu, kepada seseorang, selain kepada Tuhan. Jangan pernah berharap lebih kepada manusia. Agar kamu tidak banyak kecewa.