Friday, September 7, 2007

Tahu Apa Kau Tentang Aku.

“Sudah nggak jaman jadi idealis, mati aja kalo hanya makan idealisme”

Lantas percakapan kita mengarah pada kesimpulan satu arahmu : aku terlalu idealis. Idealis yang mana? Aku masih makan American Favourite Cheesy Bites kegemaranku, aku masih suka memakai krim perawatan salon kecantikan padahal aku sudah berulang membaca mitos kecantikannya Naomi Wolf, bahkan aku masih saja menghambur-hamburkan uang orangtua untuk sebuah kegemaran hedo.

Yang mana?

Kau tahu lelaki, bahkan aku menjuluki diriku sebagai seorang realis sejati. Idealismeku berawal dari kehidupan riil yang nampak olehku. Sebab itu apa yang aku lakukan, semua pada ranah yang nyata, masih membumi, yang berarti: tidak melangit. Wajar bukan, kalau aku keberatan dengan penghakimanmu itu.

Baiklah. Aku tahu kau berpendapat begitu karena sebuah pilihan yang nyana telah aku pilih. Ihwal sebab aku memutuskan untuk tidak berpacaran, bukan. Ah, kau terlalu dangkal kali ini. Salahkah jika yang aku ambil jalan itu? Aku lebih realis daripada dirimu, yang masih saja terpekur melihat perempuanmu pergi bersama lelaki-lelaki lain di depan matamu. Bukankah lebih banyak alasan mengapa aku memang belum seharusnya berpacaran daripada alasan mengapa aku harus berpacaran? Minta dijabarkan? Sebab aku tak ingin bersetubuh di luar nikah, sebab aku ingin menjaga diriku untuk suamiku nanti, sebab aku konvensional, sebab sudah seharusnya aku belajar dari teman-temanku yang diperkosa lelakinya. Itu belum menjelaskan semuanya memang. Aku malas, kalau pun sudah dijelaskan, lantas apa pula pedulimu?

Aku ingat pernah membilang kepadamu, mengenai seorang kekasih pada waktu awal kuliah. Aku tak bohong tentangnya. Hanya saja, aku lupa menambahkan, ia kudapat karena taruhan dengan kakakku. Jangan menghakimi aku perempuan brengsek karena mempermainkan kaummu. Ia tahu, dan ia menerima keadaan itu. Ah, hubungan lima hari, sore ini aku mengingatnya lagi. Dan aku tak pernah menganggap ini sebagai sebuah relationship per-kekasihan. Ini hanya sebuah kekhilafan.

Mungkin kau juga heran, aku juga tak pernah mau berpacaran dengan lelaki-lelaki yang kusuka. Dua orang itu mempunyai kekisah yang berbeda. Yang satu menyatakan kecintaannya yang sangat amat, tetapi berpegang pada ke-realisme-anku, aku tak mau. Yang kedua, jauh-jauh sebelumnya aku sudah membilang pada sahabat-sahabat kaum adam, kalaupun dia memutus pacarnya dan beralih padaku, aku nggak bakalan mau. Tetapi yang kedua ini hanya ingin memperkosaku. Monyet goreng, umpatku. Ya, waktu malam itu aku sms kepadamu mengenai persetubuhan yang kutolak itu mengenai lelaki satu ini. dan kau pun melarang aku melakukannya. Apakah itu bukti rasa memilikimu terhadap aku?

Kau ingin aku menjaga “itu”. Katamu, kau juga ingin memiliki perempuan sepertiku sebagai istrimu. Padahal kau seenaknya saja bermain-main dengan garba perempuanmu. Egois sekali. Tapi aku suka itu. Kalau kau tak main-main dengan kelaminmu, aku takut kau bukan lelaki normal.

Tadi malam kau mengirim pesan kepadaku. Dan kita pun larut dengan masa lalu. Aku ingat, kedekatan kita berawal di Bandung dua tahun lalu. Ada hal lain yang kuutarakan padamu. Aku tak sabar menjadi seorang istri. Aku tak main-main, lelaki. Aku ingin kawin. Entah dengan siapa.

Aku ingat, seorang kawan pernah berkata padaku, Jeng, cepatlah cari pacar. Jangan cuma tebar pesona terus. Hahaha.. ia bisa bilang begitu karena mungkin ia korban tepe-tepeku. Jangan pula, ttm-an. Yang rugi kan kamu sendiri, dipeluk-peluk, dicium-cium, imbuhnya. Tawaku kemudian makin meledak dengan hebatnya. Mana ada lelaki yang berani seperti itu kecuali si monyet goreng. Nggak hanya ingin memeluk dan mencium tapi minta mendaratkan gatoloco-nya di garba-ku. Dan kawanku itu, seperti kamu. Korban mainanku. Aku ingat pada sebuah pesanmu tadi malam, kau membilang, aku yang bikin ge-er kamu. Katamu, nanti jika kamu masuk nominasi suamiku, sampai grand final kamu disuruh pulang lagi (seperti dulu?)

Kenapa malam ini kita hanya membicarakan hal-hal yang nggak bermutu ya, tanyamu. Ah, kukira kita rindu masa lalu. Mungkin kamu kangen suasana jam sebelas malam kita. Mungkin pula aku rindu bualanmu. Atau, bisa jadi, aku kangen diam-mu, dan kamu kangen suara treble-ku. Toh, sepertinya tidak mungkin lagi kita seperti dulu lagi. Setelah pertengkaran yang menghebat silam, aku tak yakin kita saling mencintai seperti ucapmu. Lelaki, sekarang mari kita tuntaskan terlebih dahulu ketakutan kita akan kematian. Mari sama-sama menguatkan hati untuk menghadapi meja operasi dan seringai sayat pisaunya. Penyakit kita memang tidak main-main.

Yang kupikirkan sekarang adalah, kenapa kau kembali meng-intimiku? Kenapa harus aku?

1 comment:

Ma2DRa Tdk. said...

haha! sis, tetaplah pada "kesombongan"-mu ini, aku suka.