Saturday, August 4, 2007

Ritual Naik Gunung


Mahameru berikan damainya
Didalam mercu Arcapada...
Mahameru sebuah legenda tersisa
Puncak abadi para dewa..

Lagu Dewa 19 mengalun pelan dari speaker komputer. Ah, saya rindu masa lalu. Saya ingat, dahulu ada sebuah ritual yang tidak bisa tidak harus terpenuhi. Naik gunung. Kegemaran yang memiliki suatu romansa tersendiri. Bermula dari keikutsertaan menjadi anggota pecinta alam sekolah, Stigmapa. Dan mencoba meneruskan pendidikan ke-alam-an dengan menjadi anggota Mapala Unisi.

Tidak bisa tidak, dari semua organisasi yang saya ikuti, pengaruh organisasi pecinta alam banyak memberi andil dalam hidup. Bukan berarti saya mengenyampingkan yang lain. Tetapi menjadi seorang pecinta alam membutuhkan konsekuensi yang tidak sedikit. Pengorbanan inilah yang selalu saya coba kenang.

Masa SMU mungkin masa dimana frekuensi ritual mendaki sangat tinggi. Dalam satu bulan bisa lebih dari dua kali menyambangi gunung-gunung di sekitar Kota Magelang. Inilah kekhasan kota Magelang, dilingkari oleh gunung-gunung. Yaitu gunung Merbabu, Sindoro, Sumbing, Telomoyo, Andong, Merapi dan pegunungan Menoreh. Ditengahnya, ada bukit Tidar, yang dipercaya sebagai pusat pulau Jawa. Dari kesemuanya, favorit saya adalah Gunung Sindoro. Tetapi yang sering dikunjungi adalah Gunung Merbabu. Alasannya sederhana, sewaktu SMU tentunya uang saku tidak akan cukup mengakomodasi hobi ini, saya bersama teman-temanpun mengakalinya dengan mendaki Merbabu yang dengan uang limabelas ribu perak sudah memenuhi hasrat akan sebuah kedekatan dengan alam karena jaraknya tidak terlalu jauh dari pusat kota.

Gunung Sindoro, bersama Gunung Sumbing, sering disebut sebagai gunung kembar. Jadi bukan hanya payudara saja yang terkonotasi dengan sebutan gunung kembar. Di Sindoro yang terletak antara kabupaten Temanggung dan Wonosobo inilah, ada suatu perulangan dan pembaharuan. Saya merasa benar-benar menjadi manusia baru setelah pulang dari gunung ini. Merenung di pos dua atau pos tiga merupakan habituari yang tidak bisa tidak harus diluangkan. Melihat Sumbing didepan, Merapi dan merbabu di kejauhan, awan berserak dibawah, langit dini hari yang memukau dan kesederhanaan Sindoro dengan gersangnya. Ada sesuatu yang tidak bisa terjabarkan dengan kata-kata. Entah. Mencintai Sindoro, memaknainya sebagai ruang pembelajaran.

Saya lantas teringat, sudah dua tahun lebih tidak mendaki gunung. Gunung terakhir yang terjamah adalah Lawu. Bersama anak-anak Mapala. Tugu puncak Lawu selalu mengendap di pikiran, fotonya pun sengaja saya pasang di dinding. Sebagai pengingat, bahwa ada panggilan yang akan selalu memanggil. Sebelum Lawu, beberapa hari sebelumnya saya mendaki Sumbing bersama kawan-kawan teknik elektro. Saya menyukai perjalanan ini. Energi saya terpompa penuh. Dari tujuh orang, tiga diantaranya ambuk karena tidak kuat. Demi melihat keinginan saya untuk terus sampai ke puncak sebelum fajar, perjalanan tetap dilakukan. Mungkin juga karena mereka malu melihat saya yang perempuan sendiri dalam rombongan perjalanan itu masih tetap kekeuh ingin muncak. Tetapi karena beban yang dibawa melebihi kapasitas kekuatan tubuh, beberapa diantaranya menyarankan untuk meneruskan keesokan harinya. Digunung tentu ego harus sedikit dikesampingkan. Akhirnya tenda pun didirikan. Saya sengaja tidur diluar sendirian. Ingin merasakan dingin, dingin yang sampai ke sumsum. Esoknya, ucapan selamat ulang tahun datang pada saya. Ya itulah kado terindah saya di tahun ke-19. Perayaan ulang tahun ini sama seperti saat ulang tahun ke-17 saya yang dirayakan di Sindoro. Ketika itu naik bersama Andy, Pedro dan Andec. Saat pendakian di Sindoro inilah, alam menampakkan keelokkannya. Sungguh, itulah keindahan. Di gubuk tempat kami berteduh, terlihat merapi mengeluarkan lavanya. Subuh pun terawali dengan sujud yang terasa dalam. Mungkin Andy yang seorang Kristiani juga ber-puji tuhan atas keelokkan itu. Mengutip kata seorang bijak, bahwa di ketinggian gununglah, kedekatan kita dengan tuhan bisa semakin nyata. Saya akui itu.

Dan kini, mungkin saya sudah tidak kuat lagi mendaki sampai puncak. Kegiatan selama ini lebih banyak berkutat pada membaca, membaca, membaca dan menulis. Berenang dan bilyard pun jarang diakukan lagi. Penyakit banyak berdatangan, semakin sering insomnia. Mungkin tubuh saya sudah berontak ingin mendaki lagi. Malam ini, pukul satu dini hari, saya merindui gunung. Hidup terasa belum berimbang. Kapan saya bisa mengulang romantisme itu lagi, sebelum berpulang?


Mendaki melintas bukit...
Berjalan lebih menahan berat beban
Bertahan didalam dingin
Berselimut kabut Ranu Kumbolo
Menatap jalan setapak
Bertanya-tanya sampai kapankan berakhir....
(Mahameru, Dewa 19)