Friday, August 3, 2007

ALKISAH SEBUAH DOKUMEN (Amdal 2)


Proses pengerjaan dokumen amdal yang penuh manipulasi menuai banyak kritik dari para pemerhati lingkungan. Pun kurangnya sosialisasi membuat masyarakat yang seharusnya menjadi pemantau pelaksanaan tidak tahu menahu tentang dokumen tersebut.

MENOLEH ke belakang, pada awal tahun 1987 kita mulai mengenal istilah pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan ini berkonsep pada pemenuhan kebutuhan manusia sekarang, tanpa mengurangi potensi pemenuhan kebutuhan yang akan datang.

Diperkenalkan oleh World Commission on Enviroment and Development, komisi dunia yang menangani lingkungan hidup dan pembangunan milik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lantas banyak negara yang kemudian mengadopsinya, termasuk Indonesia.

Pembangunan berkelanjutan ini sangat mempercayai bahwa ada beberapa tahun lagi menjelang datangnya abad baru dengan kondisi bumi yang serba baru pula. Selama menunggu datangnya abad tersebut, warga dunia harus menghadapi tantangan untuk menyelesaikan berbagai krisis, salah satunya adalah krisis lingkungan.

Konsep pembangunan berkelanjutan ini ini setidaknya menjadi landasan pemerintah dalam menerbitkan peraturan tentang analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Di Indonesia, amdal pertama kali dikenal dalam Pasal 16 UU Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 1982 yang berbunyi ”Setiap rencana yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah.”

Namun hingga kurun seperempat abad kemudian, wawasan amdal hanya diketahui oleh segelintir orang saja di negri ini. “Ah, apa itu? saya cuma orang kecil, nggak begitu paham dengan yang seperti itu,” tutur Ahmad, seorang pedagang minuman di sekitar kampus Universitas Gajah Mada (UGM).

Tidak semua masyarakat tahu tentang amdal. Bahkan, mahasiswa yang notabene kaum intelektual pun tidak semua mengetahuinya. Tengoklah Ajul, mahasiswa Teknik Sipil UII. Ia berujar, “Kurang tau, semacam peraturan atau apa? Berkaitan dengan izin mendirikan bangunan ya?”

Jawaban Ajul hampir sama dengan kebanyakan orang yang saya temui. Sebagian besar mengaku tidak terlalu banyak tahu mengenai amdal dan hukum lingkungan di Indonesia.

Padahal keaktifan masyarakat untuk memantau pelaksanaan amdal amat diperlukan. “Sekarang kan intinya pada konsep pembangunan berkelanjutan. Nah, pembangunan berkelanjutan itu untuk generasi mendatang. Generasi mendatang kan juga masyarakat sendiri, untuk itulah kita perlu melibatkan masyarakat,” kata Sudarmaji, ketua Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Daerah (Bapedalda) Propinsi DIJ.

”Sayangnya,” lanjut dia, ”pemahaman berkelanjutan berwawasan lingkungan belum ada.” Dalam rencana strategi (renstra) Bapedalda tahun 2004-2008, disebutkan juga visi Bapedalda, yakni lestarinya fungsi lingkungan hidup dalam pembangunan berkelanjutan.

Namun haruskah masyarakat yang disalahkan atas ketidaktahuannya?

Pasal 3 Keputusan Kepala Bapedalda mengenai keterlibatan masyarakat, menyebutkan beberapa poin hak-hak masyarakat dalam proses amdal. Diantaranya ialah mendapat informasi mengenai dokumen amdal, proses penilaian, dan keputusan hasil penilaian amdal. Jadi pengetahuan tentang amdal itu adalah hak masyarakat yang harus dipenuhi instansi terkait, bukan kewajiban.

Memberikan saran, pendapat, dan tanggapan atas rencana usaha juga hak yang bisa diperoleh masyarakat. Tata cara keterlibatan masyarakat diatur dengan rinci. Masukan-masukan yang disampaikan dalam sidang penilaian didokumentasikan oleh komisi penilai amdal (KPA).

Partisipasi masyarakat ini tak hanya menguntungkan masyarakat tetapi juga bagi pemrakarsa amdal. Sikap terbuka yang ditunjukkan oleh warga akan mempermudah pemrakarsa dalam fase penyusunan amdal. Sumber informasi mengenai keadaan lingkungan akan terakses dengan baik, termasuk di dalamnya adalah aspek sosial-ekonomi dan juga aspek sosial-budaya.

Ryo, mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM, mengatakan, “Seandainya masyarakat tahu mengenai sosialisasi itu pasti mereka banyak menggugat. Sementara masyarakat juga kelihatan acuh tak acuh. Kalaupun ingin mengugat, mereka bingung harus bagaimana dan kemana.”

Jika masyarakat awam banyak bersifat pasif, lain halnya dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau organisasi pemerhati lingkungan semacam Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Wana Mandira, Lingkar Lingkup Indonesia, dan organisasi lain yang juga merupakan patner Bapedalda.

Walhi misalnya, banyak melakukan advokasi pada pembangunan yang bermasalah dengan lingkungan ataupun pelanggaran amdal. Penekanan-penekanan dilakukan kepada pihak yang bermasalah.

Partisipasi dan tekanan LSM ini ada pengaruhnya. Proses pembangunan dirasa lebih berhati-hati. Contohnya, ada pembangunan yang tidak jadi dibangun karena proses amdalnya tidak selesai.

Seperti rencana pembangunan mal di dekat sebuah rumah makan waralaba pada kawasan Kota Baru Jogjakarta misalnya. Rencana ini terhenti di tengah jalan karena terganjal kondisi dekat dengan sebuah sekolah menengah dan memang sebagian besar wilayahnya bukan untuk kawasan industri.

Mal Marvin Revees yang ada di wilayah Kabupaten Sleman pun tidak jadi dilanjutkan pembangunannya karena proses amdalnya juga tidak berjalan.

DALAM menginformasikan adanya suatu kegiatan yang memulai proses penyusunan amdal, Bapedalda dan pemrakarsa wajib menginformasikan ke khalayak luas. Spesifikasi media dan tampilan pengumuman diatur jelas dalam Surat Keputusan yang diterbitkan oleh Gubernur mengenai amdal

Pasal 4 Keputusan Kepala Bapedalda memaparkan kewajiban Kepala Bapedalda sebagai wakil dari unsur pemerintahan, sedangkan kewajiban pemrakarsa diatur pada pasal 5. Ukuran dan standar huruf, bahasa yang digunakan, serta waktu pengerjaan tertera jelas dalam pasal-pasal ini.

Poin-poin yang harus diumumkan diantaranya adalah nama dan alamat pemrakarsa, lokasi, jenis kegiatan, dan dampak lingkungan yang akan terjadi.

“Bapedalda sudah menyosialisasikan pada papan pengumuman di Bapedalda, surat kabar, di lokasi pembangunan, dan media lain,” tukas Sudarmadji.

Namun hal ini masih dipertanyakan oleh Suparlan, Direktur Eksekutif Walhi Jogjakarta. “Kadang iklan di media massa kecil sekali ukurannya. Apakah itu sudah bisa dijadikan justifikasi memenuhi syarat informasi ke publik?”

Pada dasarnya, tidak hanya sekedar konteks menginformasikan kepada masyarakat, tetapi bagaimana konteks content dari pembangunan itu sendiri.

ADALAH negara Amerika Serikat yang pertama kalinya memperkenalkan amdal. The National Enviromental Policy Act of 1969, disingkat NEPA 1969, menjadi peraturan yang diadopsi oleh banyak negara. Dalam peraturan ini ada hal menarik, yaitu unsur keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan mata rantai pengambilan keputusan. Public hearing, atau dengar pendapat masyarakat sangat ditekankan.

Jika kita membandingkan NEPA 1969 dengan peraturan negara lain hasil adopsinya, maka akan banyak terdapat persamaan serta perbedaan yang menciptakan keunikan masing-masing.

Kanada, salah satu negara tetangga Amerika Serikat, juga mengadopsi peraturan itu meskipun dalam perkembangannnya, ada karakter-karakter unik yang kemudian muncul.

Di negara Mesir, Polandia, dan Turki, pengaturan mengenai dampak lingkungan lebih bersifat desentralisasi. Di Asia Tenggara, Negara Philipina-lah yang merupakan negara paling maju dalam peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan hidup. Ini bisa dilihat dengan banyaknya undang-undang yang mengatur secara lengkap dan mendetail mengenai masalah lingkungan, termasuk didalamnya mengenai amdal.

“Di Indonesia hampir 84 persen dokumen amdal belum memenuhi syarat, 16 persen berkriteria baik, tapi belum memenuhi syarat ideal,” tukas Harry Supriyono, salah satu pakar amdal dari Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM mengenai kualitas dokumen amdal. “Banyak yang masih sebatas amdal-amdalan,” imbuhnya lagi.

Komentar yang tak jauh beda juga dilontarkan oleh Zairin Harahap, dosen hukum lingkungan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia serta ketua Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum (LKBH) UII.

“Banyak amdal fotokopi, amdal fiktif,” ungkapnya.

Lebih lanjut ia mengemukakan, saat ini masih banyak terjadi peniruan dokumen amdal. Hanya dengan mengubah tempat, tanggal dan angka, maka pemrakarsa dapat memperoleh dokumen amdal dengan mudahnya.

“Ini juga yang menjadi salah satu kelemahan regulasi kita,” tutur Zairin.

Tidak adanya kriteria dan indikator penilaian, menjadikan proses penilaian dokemen ini menjadi subyektif. Padahal kajian amdal bersifat obyektif, bukan subyektif karena tunduk pada metodologi.

Penyusunan dokumen amdal memang harus dilakukan secara sistematis, ilmiah, dan berurutan. Sejak tahun 1970 sampai saat ini sudah banyak metode digunakan dalam penyusunan dokumen ini. Metode yang banyak digunakan adalah metode Leopold, Moore dan Sorenson.

Metode Leopold juga dikenal dengan matriks Leopold. Matriks yang diperkenalkan adalah matriks yang terdiri dari dari 100 macam aktifitas dari suatu proyek dengan 88 komponen lingkungan. Metode inilah yang banyak dipakai oleh para penyusun amdal

Kenapa harus menggunakan metode? Hal ini disebabkan banyaknya manfaat yang akan diperoleh bagi para penyusun dokumen amdal. Diantaranya adalah tidak ada komponen lingkungan penting yang terlewatkan dalam penganalisaan dan mempermudah pengumpulan serta evaluasi data.

Dengan menggunakan metode, maka dokumen amdal memuat disiplin ilmu yang saling terintegrasi. Lemahnya mutu dokumen amdal ini bisa jadi karena kualitas konsultan dan pengerjaan yang tidak serius.

Bahkan dalam website Sinar Harian, disebutkan bahwa sebanyak sepuluh ribu hasil studi amdal hanya menjadi kertas dokumen. Dokumen-dokumen ini tanpa ada pelaksanaan di lapangan.

DI JOGJAKARTA, amdal menjadi bahasan yang cukup menyita perhatian. Gencarnya pendirian bangunan dan mal-mal dalam kurun waktu dua tahun ini, bisa jadi menjadi ihwal utamanya.

Jika kita menilik pada PP Nomor 27 Tahun 1999, disebutkan bahwa amdal adalah kajian mengenai dampak besar atau penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan.

Sudarmaji menambahkan pengertian tersebut, ”Singkatnya, amdal merupakan kajian dari semua kegiatan yang diperkirakan mempunyai dampak penting dan besar bagi lingkungan,” ujarnya. Sebagai instrumen preventif, amdal dibuat pada tahap paling dini dalam suatu rencana kegiatan pembangunan.

Suparlan mengatakan, “Di Jogja saat ini ada sekitar 30 kegiatan yang bermasalah dengan lingkungan. Dari jumlah tersebut sebagian besar, pembangunannya sudah dilaksanakan walaupun amdalnya belum keluar.”

Merunut pada tahapan yang harus dilalui oleh pemrakarsa sebagai pembangun, akan ditemukan dua tahapan dalam pengajuan amdal.

“Dari empat dokumen, dokumen pertama, yaitu ka-andal (kerangka analisis dampak lingkungan-red) diajukan pada tahap pertama. Selanjutnya andal, RKL dan RPL diajukan pada tahap kedua,” papar Zairin Harahap. RKL adalah Rencana Pengelolaan Lingkungan, sedangkan RPL adalah Rencana Pemantauan Lingkungan.

Jika andal merupakan telaah cermat dan mendalam mengenai dampak besar dan penting suatu usaha atau kegiatan, maka ka-andal adalah ruang lingkup kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang merupakan hasil dari pelingkupan.

Pelingkupan, atau scooping, dalam buku berjudul ”Analisa Mengenai Dampak Lingkungan” terbitan Gadjah Mada University Press, disebutkan sebagai salah satu proses untuk menetapkan dampak penting dari suatu kegiatan terhadap lingkungan.

Tujuan pelingkupan sudah barang tentu untuk efisiensi biaya dan tenaga. Dalam pelaksanaan amdal, pelingkupan telah digunakan sejak awal dari langkah dini penyusunan ka-andal. Keahlian dan pengalaman yang cukup dalam pelaksanaan scooping, sangat menentukan hasil yang didapat.

Beanland dan Duinker, pada tahun 1983 memperkenalkan dua jenis pelingkupan, yaitu skoping sosial dan skoping ekologis. Kemudian dilengkapi oleh Sontag, dengan skoping kebijaksanaan dan perencanaan. Skoping jenis terakhir ini, bersifat penyampaian pendapat kepada untuk menetapkan kebijakan.

RKL dalam tata urutan penyususnan amdal ialah upaya penanganan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha atau kegiatan, dan RPL didefisnisikan sebagai upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha atau kegiatan

Tata urutan lebih lanjut, kata Zairin, dokumen ini kemudian diajukan ke instansi terkait, dalam hal ini misalnya Gubernur DIJ. Setelah itu, dokumen diserahkan pada KPA.

Ada empat prinsip dasar pelaksanaan amdal. Kesetaraan posisi pihak-pihak yang terlibat, transparansi dalam pengambilan keputusan, penyelesaian masalah dengan adil, serta kerjasama antar pihak.

Dalam PP Nomor 51 Tahun 1993, ditetapkan empat jenis studi amdal, yaitu amdal proyek, terpadu atau multisektoral, kawasan, dan regional. Perbedaan masing-masing amdal tersebut berkisar pada lokasi, keterkaitan, perencanaan, dan lintas sektoral.

Empat kelompok parameter yang diuji dalam studi amdal meliputi fisik-kimia, biologi (flora dan fauna), sosial (budaya, ekonomi, pertahanan-keamanan), serta kesehatan masyarakat. Aspek fisik-kimia contohnya ialah iklim, kualitas udara dan kebisingan, demografi, fisiografi, serta ruang lahan dan tanah.

Selain amdal ada juga UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan) dan UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan), sebagai instrumen untuk lingkup dampak yang lebih kecil. UKL-UPL ini adalah upaya dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab yang tidak wajib amdal. Kewajiban UKL-UPL ini dikhususkan untuk kegiatan yang dampaknya mudah dikelola dengan teknologi sederhana.

Contohnya seperti SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum), perumahan-perumahan dalam jumlah tertentu, atau pusat perbelanjaan. Jika penyusunan amdal cukup rumit dan memakan waktu yang lama, lain halnya dengan prosedur UKL-UPL. Cukup hanya dengan mengisi formulir yang telah disediakan, izin akan keluar.

Menurut Sudarmaji, pelanggaran oleh pemrakarsa banyak terjadi pada proses penapisan dan pelingkupan. Penapisan adalah salah satu tahap dalam penyusunan amdal. Screening, atau penapisan, adalah proses seleksi kegiatan wajib amdal, yang menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib amdal atau tidak.

Pelanggaran dilakukan dengan mengubah angka dan besarnya suatu parameter penapisan, atau ukuran pelingkupan, sehingga yang seharusnya wajib amdal bisa lolos dari kewajiban ini.

Untuk meningkatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup, Kementerian Lingkungan Hidup juga mengadakan salah satu progam yang dinamakan PROPER, yaitu Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Prinsip dari pelaksanaan program ini adalah dengan mendorong penataan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui citra atau reputasi perusahaan.

Peringkat PROPER terdiri dari lima tingkatan. Tingkatan ini disimbolkan dengan warna. Warnanya berkisar dari hitam sampai emas. Warna emas inilah yang dianggap telah melakukan pengelolaan lingkungan lebih dari standar. Untuk perusahaan yang taat, mendapat peringkat warna biru.

Di Jogjakarta, berdasarkan data dari KLH periode 2004-2005, terdapat tiga perusahaan yang mendapat peringkat biru. Namun kenyataan di lapangan tidak selalu mencerminkan peringkat tersebut. Di Pabrik Gula Madukismo milik PT Madu Baru misalnya, limbah buangan pabrik ini telah nyata mencemari sungai. Juga polusi asap yang menyebabkan layangan somasi dari masyarakat Bugisan, kelurahan Patangpuluhan, Jogjakarta.

ADALAH kebijaksanaan dari Pemerintah Daerah Jogjakarta untuk memberikan sanksi administratif bagi mereka yang melanggar amdal. Zairin Harahap sendiri masih bertanya-tanya mengenai dasar hukum dalam menjatuhkan sanksi administratif. Sanksi ini biasanya berupa penghentian pembangunan untuk sementara sampai semua dokumen amdal tidak bermasalah.

PP tidak mengatur mengenai sanksi pidana. Dalam hukum negara Indonesia, yang boleh mengatur sanksi pidana adalah undang-undang dan peraturan daerah. PP Nomor 27 Tahun 1999 sendiri adalah perintah dari UU Lingkungan Hidup, sehingga kalau peraturan mengenai amdal memakai undang-undang peraturan ini menjadi tidak legal karena bersumber dari perintah undang-undang sedangkan amdal sendiri merupakan peraturan teknis.

Namun dari sisi proses, kemungkinan terjadinya kolusi dalam persetujuan amdal sangat besar. Ini dapat dilihat pada Pasal 20 PP Nomor 27 Tahun 1999. Dalam pasal tersebut dinyatakan, bahwa jika dalam waktu 75 hari instansi yang berwenang tidak mengeluarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu rencana usaha, maka usaha tersebut dinilai layak lingkungan. Kolusi dapat terjadi bila instansi kemudian tidak menerbitkan keputusannya, otomatis rencana usaha dapat melenggang dengan mulus.

Budi Darma, sekretaris PSLH UGM, mengomentari masalah hukum amdal ini dengan kalimat singkat, “Peraturannya baik, ‘orang-orang’nya yang tidak baik.” Ia tidak memperinci, siapakah orang-orang yang dimaksud.

Suparlan juga mengemukakan hal yang sama. Komitmen pemerintah dalam memberikan ketegasan sanksi dirasa masih kurang, walaupun komitmen dalam penegakan hukum lingkungan sudah ada. Ia berasumsi bahwa ketidaktegasan ini muncul karena masih ada ketakutan dari pihak tertentu, misalnya jika seseorang hendak menghentikan suatu proyek yang melanggar hukum lingkungan mungkin pengaruhnya ada pada jabatan mereka.

Juga karena belum adanya manajemen penegakan hukum lingkungan satu atap. Kini wacana mengenai penegakan hukum satu atap ini sedang dikoordinasikan pelaksanaan operasionalnya. Ini mengkaitkan penegakan hukum lingkungan terpadu antara Gubernur Propinsi DIY, Kejaksaan Tinggi, kepolisian daerah (Polda), dan Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional (PPLHR) Jawa.

Nota kesepakatan sudah ditanda tangani oleh PPLHR Jawa dengan Bapedalda DIY. Dengan penanganan satu atap, akan ada satu persepsi antar instansi terkait untuk memberikan sanksi pada para pencemar lingkungan.

AMDAL memang memberatkan. Setidaknya inilah yang sering dirasakan oleh para pemrakarsa. Sudarmadji juga sependapat dengan hal ini. Walaupun ia mengatakan, beban yang ditanggung oleh pemrakarsa juga sebenarnya untuk membantu mereka sendiri.

Kemudian dia memperlihatkan sebuah dokumen amdal proyek jalan raya jalur lintas selatan di Jogjakarta. Tebal dokumen tersebut memang tidak bisa dibilang tipis, sekitar sepuluh sentimeter. Pengerjaan yang rumit dan prosedur yang lama juga merupakan sisi lain amdal.

Salah satu pemrakarsa yang mengeluhkan hal ini adalah Hari Prasetya, pemrakarsa pembangunan mal Saphir Square. Ia mengeluhkan masalah waktu yang cukup lama untuk memproses dokumen amdal. ”Sebaiknya lebih dipersingkat,” mintanya. Namun Hari masih menganggap wajar prosedur tersebut, walau memang dirasa banyak yang harus dikaji.

Terlepas dari kerumitan pembuatannya, manfaat amdal bagi pemrakarsa sebenarnya sangat banyak. Contohnya adalah sebagai alat efisiensi jika terjadi kerusakan dan juga kepastian hukum. Biaya pembuatan amdal memang mahal, tapi timbal balik dari uang yang dikeluarkan juga lebih menguntungkan. Biaya untuk pengolahan limbah juga akan berkurang.

Zairin mencontohkan kasus semburan lumpur pada bekas pengeboran minyak milik PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur. Perusahaan tersebut rupanya juga tidak memiliki amdal. Bayangkan, berapa besar biaya yang harus ditanggung perusahaan tersebut untuk mengatasi semburan lumpur jika dibandingkan. dengan biaya pembuatan amdal.

Pihak ketiga yang mendanai, semisal bank, juga akan mendapat jaminan bahwa usaha yang akan dibangun tidak akan merusak lingkungan. Ini berarti ada jaminan dari sisi pengembalian modal. Tak jarang, pemrakarsa sering potong kompas karena beban waktu yang memang lama.

Polemik mengenai amdal mengulirkan persoalan ini pada jalan revitalisasi. Akhir tahun 2003, Kementrian Lingkungan Hidup meluncurkan tahapan baru dari proses pembaharuan amdal.

Bank Dunia ikut ambil bagian dalam rencana tersebut. Lembaga ini memberi bantuan dalam riset yang berfokus pada adaptasi peraturan lingkungan terhadap desentralisasi yang berubah.

Sudarmadji tidak tahu-menahu mengapa dan apa kepentingan Bank Dunia dibalik bantuan tersebut. Ia mengatakan, dulu pemerintah pernah mengevaluasi kekurangan, kelebihan, dan pelanggarannya, sehingga sampai pada satu kesimpulan, revitalisasi.

Lelaki berkacamata ini menilai, amdal revitalisasi bertujuan untuk menyederhanakan peraturan amdal sebelumnya agar tidak membebani pemrakarsa dan lebih terfokus.

“Jadi, revitalisasi bertujuan membuat image amdal itu sederhana, tidak menghambat, tapi tetap diperlukan,” tukasnya. Namun Zairin Harahap berpendapat bahwa revitalisasi hanya masalah deregulasi perizinan.

Salah satu pendorong revitalisasi amdal yang lain adalah mereformasi mekanisme keterlibatan publik sehingga partisipasi masyarakat dapat lebih terakomodasi. Partisipasi masyarakat terhadap keberadaan amdal menjadi faktor yang harus diperhatikan. Ketidaktahuan dan sikap masa bodoh bisa jadi akan menjadi bumerang bagi masyarakat sendiri.

Suparlan mengatakan, dalam sidang amdal tak jarang masyarakat yang terkena dampak hanya diwakili oleh segelintir orang. “Terkadang hanya diwakili oleh aparat pemerintah. Diasumsikan bahwa aparatur desa itu sudah mewakili seluruh aspirasi masyarakat,” imbuhnya.

Pengaduan masyarakat bahkan diatur secara mendetail dengan keputusan Gubernur dan keputusan Kepala Bapedalda. Ada dua deskripsi masyarakat, yaitu masyarakat yang terkena dampak dan masyarakat pemerhati.

Masyarakat yang terkena dampak adalah warga sekitar yang merasakan secara langsung dampak pencemaran lingkungan dari suatu kegiatan, sedangkan masyarakat pemerhati adalah masyarakat yang tidak terkena dampak langsung, namun mempunyai kepedulian terhadap dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha. LSM adalah salah satu contoh masyarakat yang paling frontal dalam menyuarakan suaranya

MENJAMURNYA pembangunan infrastruktur juga berpengaruh pada maraknya jasa konsultan amdal. Dalam penyusunan amdal, pemrakarsa dapat meminta jasa konsultan amdal. Penyusun dokumen ini harus memiliki sertifikat. Ketentuan standar minimal cakupan materi diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal.

“Konsultan-konsultan amdal kebanyakan pinjaman,” tukas Budi Darma, sekretaris PSLH UGM. Ia juga seringkali diminta oleh KPA menjadi tim teknis amdal.

Budi mengatakan, konsultan amdal mayoritas berasal dari perguruan tinggi yang mempunyai jam terbang tinggi. ”Imbasnya,” tambah Budi, ”para konsultan ini dipastikan tidak fulltimer dalam mengerjakan dokumen amdal.”

Budi yang juga dosen Teknik Lingkungan UGM ini mengaku sering diminta menjadi konsultan. Waktu yang terbatas menjadikan alasan mengapa Ia menolak tawaran itu. Walaupun begitu, Ia menilai pelaksanaan amdal di Jogjakarta cukup bagus dibanding daerah lain. “Di sini agak ketat dalam pengujian amdal,” ujarnya.

Menurut Daud Silalahi, Guru Besar Universitas Padjajaran yang juga menulis buku mengenai amdal, seperti dikutip dari harian Pikiran Rakyat terbitan 3 Februari 2005, pakar yang menjadi konsultan amdal harus teruji tiga komponen kualifikasi. Tiga komponen tersebut adalah pendidikan, pengalaman, dan pengakuan dari pakar-pakar yang lain. Serta faktor yang sangat penting adalah masalah sikap independensi yang dimiliki oleh sang pakar.

“Moralitas peneliti dan pakar menjadi salah satu aspek yang menentukan,” ujarnya.

Sedangkan Zairin mengungkapkan bahwa konsultan amdal yang ada selama ini hanya terdiri dari orang-orang dari displin ilmu yang sangat terbatas. Seharusnya konsultan amdal terkait dengan semua komponen lingkungan yang terkena dampak.

Lebih lanjut ia memaparkan, “Orang membuka jasa konsultan karena formalitas, bukan karena kelengkapan ahli yang ada. Jadi misal kita lihat, penyusun amdal itu kadang hanya tujuh orang.”

Ia pesimis minimnya orang yang menyusun dokumen amdal akan bisa menganalisis dampak dengan baik. “Itupun, kebanyakan orang-orang (dari disiplin ilmu) sosial, sehingga kalau ada kaitannya dengan tanah, kadang nggak ada orang geologi atau orang pertanian di situ,” imbuhnya

Mudahnya proses pendirian jasa konsultan, menjadi faktor utama kualifikasi konsultan yang masih rendah. Menurut dosen yang dikenal dekat dengan mahasiswa ini, regulasi yang ada sekarang haruslah diubah. Artinya orang yang berniat mendirikan kantor atau jasa konsultan amdal mestinya mulai diperketat. Jumlah ahli dan kualifikasi orangnya juga menjadi pertimbangan. Latar belakang displin ilmu menjadi prasyarat penting.

“Kalau sekarang kan enggak, cukup ikut kursus amdal A dan B, comot orang sana-sini nanti ngurus ijin, bisa buka jasa konsultan amdal. Nah ini kan lemah sekali,” tukasnya.

KLH menerbitkan buletin bernama Infoamdal. Masing-masing instansi lingkungan di daerah mendapat satu buah buletin tersebut. Melalui buletin ini, diharapkan studi antar daerah mengenai dampak lingkungan akan menjadi bahan pembelajaran bagi daerah-daerah yang lain. Tercermin bahwa tidak semua daerah bisa menyelenggarakan pengendalian dampak lingkungan dengan baik.

Bulan Oktober 2005, ada sebuah studi atas praktek amdal yang baik di beberapa propinsi Indonesia. Studi ini diikuti oleh perwakilan dari beberapa instansi lingkungan di Indonesia. Pilot project atau studi awal tentang amdal pun sudah diadakan di Jawa Barat dan Kalimantan Timur, terkait dengan otonomi daerah.

Kini kursus amdal banyak diselenggarakan oleh PSLH perguruan-perguruan tinggi. Di Jogjakarta, kursus amdal yang paling banyak diminati adalah kursus yang diselenggarakan oleh PSLH UGM. Pusat studi ini telah ada sejak tahun 1984, dua tahun setelah UU Lingkungan Hidup lahir.

Sasaran dari kursus amdal adalah orang-orang dari institusi lingkungan daerah, instansi teknis, swasta, perguruan tinggi, ataupun LSM. Jenis pelatihan-pelatihan lingkungan hidup di sini sangat beragam. Dalam selebaran yang didapat dari kantor PSLH UGM, disebutkan ada 12 jenis pelatihan. Ada persyaratan-persyaratan tersendiri untuk dapat mengikuti pelatihan-pelatihan ini. Sebagian besar mengharuskan para peserta minimal lulusan sarjana atau diploma.

Pelatihan yang banyak diikuti adalah pelatihan dasar pengelolaan lingkungan terpadu, penyusunan amdal tipe B, serta penilaian amdal tipe C. Pelatihan dasar pengelolaan lingkungan terpadu adalah penganti dari kursus amdal A. Waktu pelatihan berkisar antara kurang lebih sepuluh hari. Pelatihan amdal tipe B, memerlukan waktu yang cukup lama, yaitu 35 hari. Biaya yang harus dikeluarkan bagi para peserta rupanya tidak sedikit. Antara 4,5 juta sampai lebih dari 11 juta rupiah.

Dengan mengantongi sertifikat dari kursus amdal ini, sebagian persyaratan untuk mendirikan jasa konsultan amdal sudah terpenuhi.

BANYAK pihak yang mempertanyakan kembali fungsi amdal, namun hanya sedikit pembicaraan mengenai solusi yang berpotensi.

Mengingat umur UU Lingkungan Hidup yang sudah mencapai seperempat abad, semestinya pemerintah tidak perlu mengulang-ulang kesalahan yang sama dalam proses amdal.

Perubahan serta penurunan kualitas lingkungan dewasa ini menjadi gerakan pasti yang mengancam kehidupan seluruh manusia. Jika bukan manusia sendiri yang bertindak, siapa lagi?q

1 comment:

Unknown said...

Ass. Wr. Wb.
Saya minta tolong untuk minta keterangan lengkap agenda tentang kursus atau pelatihan AMDAL di universitas2 di Indonesia. Saya memiliki keterbatasan untuk mendapatkan keterangan lengkapnya dan keterangan yang kurang jelas tentang hal itu di website.
Atas perhatinnya, saya ucapkan banyak terima kasih.


Wassalam,
Tommy Kurniadi S.Si

please send an email to tommy.kurniadi@gmail.com