Friday, August 3, 2007

MAJU TAK GENTAR, PROYEK JALAN TERUS (Amdal 4)


Rekaman beberapa proyek di Jogjakarta yang bermasalah terkait amdal. Hanya segelintir dari banyaknya permasalahan serupa di negeri ini.

PERCEPATAN pembangunan rupanya memang sedang digalakkan oleh pemerintah Propinsi DIJ. Dalam pemberitaan harian Kompas terbitan 12 Februari 2005, disebutkan bahwa Bank Dunia akan memberikan bantuan kepada pemerintah propinsi.

Bantuan tersebut berupa block grant dan pinjaman lunak sebesar hampir mencapai angka tiga trilyun rupiah. Dana tersebut digunakan untuk pembangunan transportasi, pertanian, industri, pariwisata dan infrastruktur yang berwawasan regional.

Ini terkait dengan penerapan otonomi daerah. Konsep otonomi daerah sudah bergulir sewindu yang lalu. PP Nomor 27 Tahun 1999 dirasa telah mengakomodir konsep ini. Otonomi daerah dibangun atas pelimpahan sebagian wewenang pusat kepada daerah.

Menurut Zairin Harahap, ketua PSLH UII, PP Nomor 27 Tahun 1999 tidak sepenuhnya dijalankan oleh pemerintah dengan maksimal.

“Contoh mudahnya, masalah limbah. Dalam PP sudah dijelaskan bahwa secara berkala, usaha harus memberikan laporan tentang kegiatan usahanya, itu banyak yang tidak berjalan,” tuturnya.

Karena PP tersebut tidak mengatur masalah sanksi administratif, maka masalah-masalah ini menjadi mandul. Ketidaktahuan masyarakat terhadap kewajiban pelaporan secara berkala atas suatu usaha ini, kemudian dimanfaatkan oleh para pemrakarsa.

Hingga akhirnya bergulirlah persoalan seperti pencemaran. ”Pada saat mencemari inilah, para pelanggar amdal baru bisa dijerat hukuman,” tuturnya. Menurutnya sanksi administratif pun bersifat represif, harus ada perbuatan yang melanggar hukum dahulu baru dapat diberi sanksi.

Kewajiban yang diemban daerah otonom berdasar pada pasal 10 UU Nomor 22 Tahun 1999. Disitu jelas tercantum bahwa daerah berwenang mengelola sumberdaya yang dimilikinya dan bertanggungjawab atas kelestarian lingkungan.

Di peraturan yang lain, Pasal 3 PP Nomor 25 Tahun 2000, cakupan wewenang daerah dalam hal lingkungan adalah pada fungsi pengendalian, pengelolaan, pelestarian, serta pengawasan terhadap lingkungan hidup lintas kabupaten atau kota.

Tugas lain yaitu penilaian amdal yang lokasinya meliputi lebih dari satu kabupaten atau kota. Kewenangan propinsi tentunya menjadi lebih terbatas, hanya pada proses yang lintas wilayah. Koordinasi antar daerah menjadi penting. Permasalahan yang kemudian muncul dengan adanya otonomi daerah adalah kurangmya sumberdaya manusia dan peralatan di masing-masing daerah. Keuntungannya, daerah lebih sensitif dalam menangani masalah lingkungan.

Walaupun begitu, permasalahan lingkungan hidup belum menjadi isu sentral dari pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini bisa kita lihat pada melemahnya fungsi amdal sebagai filter dan pemantau. Di lain sisi, amdal tentu akan berhadapan dengan konsekuensi pelaksanaan otonomi daerah yang lain. Contoh konkret adalah orientasi ekonomi.

Tapi benarkah amdal memang tidak bisa lepas dari kepentingan ekonomi? Harry Supriyono, pakar amdal PSLH UGM, mengemukakan komentarnya. “Pertanyaannya dikembalikan, membangun untuk siapa? Selama ini pemerintah hanya mengejar target. Orientasinya hanya ekonomi. Sedangkan di UUD (Undang-undang Dasar 1945-red) disebutkan, bahwa pembangunan itu adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,” katanya.

Pendapatan asli daerah (PAD) menjadi faktor utama. Keberhasilan suatu wilayah tak jarang hanya dipandang dari income PAD dan besarnya investasi. Indikator keberhasilan daerah lewat PAD inilah yang membuat pemerintah menempuh berbagai cara.

“Jangan gara-gara masalah ekonomi, lingkungan kita gadaikan. Supaya menarik investor-investor ke daerah, aturan tentang amdal lalu ditidurkan,” komentar Zairin Harahap. Ia berharap agar kepentingan ekonomi sejalan dengan ekologinya.

Senada dengan apa yang dikatakan Zairin, Sudarmadji, ketua Bapedalda DIJ mengakui bahwa kepentingan ekologi dan kepentingan ekonomi memang tak jarang saling tarik menarik. Pembangunan diharapkan sebisa mungkin tidak diversuskan dengan lingkungan karena dua-duanya harus dijaga.

Namun komentar Asisten Fasilitasi dan Investasi Sekertaris Daerah Propinsi DIJ, Sunjoto, mengenai pembangunan mal kepada harian Kompas terbitan 12 Februari 2005 melemahkan harapan tersebut.

“Pembangunan wisata seperti Tamansari hanya bisa dirasakan manfaatnya dalam jangka waktu yang sangat panjang. Kalau mal, dalam dua puluh tahun mendatang kami bisa meningkatkan PAD DIJ secara maksimal. Pendapatan itu sangat penting untuk menyokong biaya pembangunan dan dana pelaksanaan pemerintahan setelah realisasi otonomi daerah,” ucapnya.

Juga komentar dari Asisten Deputi Bidang Urusan Kajian Dampak Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup, Dana A. Kartakusuma terkait revitalisasi amdal, pada harian Media terbitan 10 November 2004. Ia mengatakan, “Harus terdapat ruang perbaikan bagi aturan amdal, termasuk agar tidak menjadikan aturan ini sebagai penghalang dan penghambat masuknya investasi.”

Pernyataan-pernyataan di atas jelas menunjukkan kemana orientasi keberpihakan kebijakan lingkungan yang dilakukan instansi terkait. Tetap berkutat pada kepentingan ekonomi juga.

Alhasil, dominannya kepentingan ekonomi ini menjadi faktor utama permasalahan beberapa proyek terkait amdal, seperti terekam dalam catatan beberapa kasus berikut ini :

Limbah Penyamakan Kulit PT Makmur Jaya

KASUS limbah buangan penyamakan kulit tahun 2006 lalu pernah marak diberitakan. Media-media lokal Jogjakarta banyak mengangkatnya. Kepolisian daerah Jogjakarta mengungkap modus yang dilakukan PT Makmur Jaya, sebagai pengelola, adalah dengan membuang limbah dalam bentuk cair dan padat itu di sebuah kubangan di Desa Sambirejo, Prambanan.

Dari uji sampel yang dilakukan, limbah buangan itu mempunyai kandungan krom, unsur senyawa logam, yang sangat tinggi. Melampaui jauh dari batas standar 0,4 part per million (ppm), yakni 80,4530 ppm.

Padahal dampak limbah krom sangat besar bagi manusia dan mahluk hidup lainnya. Jika diserap oleh tanaman, buah dan daunnya menjadi beracun. Apabila dikomsumsi manusia, dalam jangka pendek zat ini bisa merusak organ-organ tubuh sedangkan dalam jangka panjang bisa berdampak pada rusaknya genetika.

Limbah ini dikategorikan sebagai limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya). Limbah B3 mempunyai karakteristik seperti mudah terbakar, mudah meledak, reaktif, beracun, korosif, dan dapat menyebabkan infeksi.

Pada tahun 2006, Bapedalda pernah merencanakan studi kelayakan teknis rencana pengolahan limbah B3. Rencana tersebut akhirnya tidak jadi terealisasi karena musibah gempa bumi akhir Mei 2006 silam.

Kasus pabrik penyamakan kulit ini menghubungkan kita pada fungsi RKL dan RPL. Tentu dampak lingkungan memang tidak hanya pada proses pembangunan, tetapi juga dalam masa pengelolaan. Partisipasi dan kepedulian masyarakat kembali diperlukan.

Rencana Pembangunan Pelabuhan Ikan Glagah

Tempat yang dicanang sebagai Pelabuhan Ikan Glagah tak jauh lokasinya dengan Pantai Glagah. Hanya dipisah oleh Sungai Serang. Terletak di wilayah Karangwuni, Kabupaten Kulonprogo. Pelabuhan ini dibangun di atas tanah milik Paku Alam Ground seluas 50 hektar dan sedikit tanah milik masyarakat yang sudah dibebaskan.

Proses persidangan amdal pelabuhan tidak berjalan mulus. Sidang pertama dilakukan pada bulan September dan sidang kedua pada bulan Desember 2005.

Pada sidang pertama, ketua komisi penilai, Sudarmadji, tidak langsung mengeluarkan persetujuan dokumen amdal. Pembangunan ini dirasa masih mempunyai beberapa kekurangan teknis. Bahkan, siapa pemrakarsanya pun masih belum jelas.

Proses pembuatan pelabuhan ikan ini diprakarsai oleh Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Kulonprogo, seperti tertera dalam papan kegiatan pembangunan. Tetapi penanggung jawab selama pembangunan berlangsung belum ada kejelasannya, apakah pembangunan itu dilakukan oleh propinsi atau kabupaten belum ada kepastiannya. Padahal dalam proses pembuatan amdal suatu rencana kegiatan harus jelas.

Pembahasan ka-andal pada sidang pertama dianggap Walhi sebagai bagian dari kebohongan publik dan formalitas belaka karena pelabuhan tersebut dalam proses pembangunan belum mempunyai amdal.

Pada sidang komisi yang kedua, Suparlan dari Walhi menolak untuk menyetujui dokumen amdal. Menurutnya mulai dari saat itu Komisi Penilai harus tegas dalam masalah pelanggaran amdal.

Walhi memperkirakan dampak dari pembangunan pelabuhan ikan tersebut yaitu secara ekologi lingkungan pantai akan tercemar, terjadi abrasi di Pantai Glagah, serta perubahan wilayah pendaratan hewan-hewan laut dan burung-burung migran. Analisisnya lebih banyak mengacu pada analisis sosial dan lingkungan.

Pelabuhan ini dibangun dengan maksud untuk meningkatkan peran sub sektor perikanan, perdagangan dan perekonomian Kulonprogo. Harian Kompas terbitan 28 Mei 2003 menjabarkan alasan mengapa lokasi Pantai Glagah yang dipilih untuk pembangunan proyek tersebut.

Pantai ini dirasa mempunyai persyaratan untuk menjadi pelabuhan ikan yang besar. Potensi ikan yang banyak, lahan yang luas tetapi tidak produktif, serta faktor kedekatan dengan jalan lintas selatan adalah beberapa faktor pendukung.

DIJ sendiri sudah memiliki satu pelabuhan ikan, yaitu Pelabuhan Ikan Sadeng. Letak pelabuhan ini berada di Kabupaten Gunungkidul. Hanya saja, adanya karang ditengah laut sekitar pelabuhan ini menyebabkan kapal sulit bermanuver jika tidak kenal medannya. Inilah alasan mengapa pelabuhan ikan besar tidak dilaksanakan di pelabuhan tersebut, walaupun Sadeng sudah mempunyai pemecah gelombang, tidak seperti Glagah.

Pemecah gelombang dimaksudkan untuk melindungi alur pelayaran dan perairan pelabuhan terhadap gangguan gelombang dan masuknya sedimen pantai. Kolam pelabuhan juga dibangun di Pelabuhan Ikan Glagah untuk mengurangi biaya pemecah gelombang yang menghabiskan banyak biaya.

Masih dari harian Kompas, dana pada proses pembangunan pelabuhan ini pada tahun 2007 hanya sekitar tiga milyar. Tahun sebelumnya, sebesar empat milyar. Investor proyek Pelabuhan ini adalah PT Mina Utama. Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dilakukan di Gedung Pracisimo Kompleks Kepatihan Jogjakarta pada tahun 2002.

Saat kami meliput kesana, terlihat sudah ada pembangunan reventment. Reventmen adalah bronjong kawat yang berisi batu di sepanjang sisi sungai Serang. Dua buah bangunan sudah berdiri. Yang satu adalah bangunan yang dimaksudkan untuk tempat pelelangan ikan (TPI), sedangkan yang satu lagi digunakan oleh tim SAR.

Syamsudin, salah satu dari anggota tim SAR tersebut adalah warga setempat Dia mengungkapkan bahwa masyarakat setempat bersikap masa bodoh mengenai pembangunan proyek tersebut, walaupun pemerintah pusat terus menggalakkan pelatihan-pelatihan perikanan.

Sosialisasi juga sering dilakukan agar masyarakat jangan hanya jadi penonton saja. Di sosialisasi ini juga sudah diberitahu mengenai prosedur amdal yang tidak beres. Fredy Numbery, Menteri Kelautan pun masih sering datang ke lokasi pembangunan untuk meninjau. Tapi menurut penuturan Syamsudin masyarakat cuma manut saja.

Dalam sebuah diskusi publik di situs Kabupaten Kulonprogo, masalah ini juga menjadi sebuah perbincangan yang hangat mengugndang pro dan kontra masyarakat.

Mal Saphir Square

Jika masyarakat sekitar Pelabuhan Ikan Glagah masa bodoh, berbeda halnya dengan warga Sapen, Demangan, Jogjakarta yang wilayah mereka dipakai untuk pembangunan mal Saphir Square sejak tahun 2005. Pembangunan ini tak hanya menuai masalah pada proses perencanaan dan pembangunan. Hingga saat ini, persoalan terus bergulir.

Kasus pencemaran air sumur warga karena bocornya sistem pembuangan limbah Saphir Square, sempat menjadi santapan pembaca di media-media lokal. Bau amis pada sumur warga, tak pelak dikeluhkan oleh warga yang terkena dampak ini. Beberapa LSM dan petugas dari Kantor Pengendali Dampak Lingkungan Kota Jogjakarta pun lantas mendatangi sumur peresapan Saphir Square.

Sempat terjadi penolakan oleh manajemen atas kedatangan tim survei ini. Adu mulut dan upaya meminta kamera yang berisi gambar-gambar terjadinya keributan dilakukan oleh pihak keamanan.

Dari hasil cek kondisi, didapat bahwa air resapan tersebut sangat tidak layak. Walhi menilai, transparansi sistem pengolahan limbah kepada publik masih kurang.

Kemacetan lalu lintas di Jalan Laksda Adisutjipto menjadi dampak lain dari adanya mal Saphir Square. Penanggulangannya tidak terlihat secara nyata. Walhi menunding, manajemen transportasi yang buruk sebagai penyebab utama. Mal ini terletak tak jauh dari mal Galeria dan Plaza Ambarukmo, yang juga padat kendaraan.

Tak hanya itu, sebelum dokumen amdal disusun pun, beberapa izin telah dikeluarkan. Diantaranya adalah, izin mendirikan bangunan-bangunan (IMBB) yang dikeluarkan oleh Walikota Jogjakarta. Ini tentu bertolak belakang dengan tata urutan pengajuan dokumen amdal.

Somasi pun dilayangkan Walhi kepada PT Saphir Jogja Super Mall, selaku pengelola. Warga Demangan juga pernah menggugat pihak Saphir Square. Di Pengadilan Tata Usaha Negara DIJ mereka menuntut agar IMBB mal dicabut. Proyek tersebut dirasa merugikan. Namun sayang, eksepsi Walikota Jogjakarta mematahkan gugatan warga. Pemrakarsa pun akhirnya memenangkan perkara tersebut. Biaya perkara juga ditanggung oleh warga.

Hari Prasetyo, General Manajer Saphir Square, mengatakan bahwa pihaknya sudah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Pihaknya juga tidak menemui kendala dalam pengajuan dokumen. Walaupun begitu, ia tidak mengatakan secara eksplisit, apakah mal ini melanggar peraturan dalam masalah yang berhubungan dengan amdal.

Pada saat pembahasan sidang komisi amdal Saphir Square yang kedua, satu bangunan yang terletak disebelah barat telah selesai dibangun. Kiranya kita bisa menilai, apakah ini sesuai prosedur atau tidak.

Kontras dengan apa yang terjadi di lapangan, Hari Prasetyo menuding, “Masalah itu kan timbul karena adanya pihak-pihak tertentu yang justru tidak taat pada ketentuan.”

Ketika melihat kondisi bagian belakang gedung, kami melihat jarak gedung dengan pemukiman warga tak lebih dari tiga meter. Jalan yang sempit menyebabkan kemacetan sesaat jika ada mobil yang masuk.

Budi Wibawa, ketua RT 18 Sapen, menceritakan secara detail dampak yang dikeluhkan warga. Menurut pemaparannya, sikap tidak simpatik ditunjukkan dari pihak pengelola. Hingga kini belum ada tali kasih atas semua kerugian warga.

Janji pengelola mal untuk memasang lampu penerangan dan membangun pos kamling di lingkungan tersebut hanya janji belaka. Arogansi pihak Saphir Square dinilai masih tinggi. Bahkan, lanjut Budi Wibawa, pengelola tidak bersikap akomodatif. Ia berani mengadu data, kalau pihak pengelola menyatakan statemen pernah mengeluarkan uang untuk kesejahteraan warga Sapen.

Suara bising jelas terdengar saat kami berbincang. “Ini belum seberapa, Mbak,” ujarnya. Keluhan lain adalah polusi debu. Khusus keluarga Budi Wibawa, jelaga dari cerobong gedung mengarah ke rumah mereka.

Kekalahan warga dalam proses persidangan, menurutnya hanya karena pengaruh lobi-lobi yang dilakukan pihak Saphir Square. “Yah, seperti biasa lah,” tukasnya. Ia tidak menjelaskan lebih detail mengenai lobi-lobi tersebut. Mewakili warga, Ia berharap antara kedua belah pihak bisa berdampingan secara harmonis walaupun itu tidaklah mudah.

Masalah yang paling aktual di sana saat ini adalah sebuah gapura di depan jalan masuk kampung. Gapura ini memisahkan antara bangunan Mal Saphir Square dan ruko Saphir, keduanya masih dalam satu pengelolaan.

Pihak Saphir menuding gapura ini tidak memiliki surat izin mendirikan bangunan. Mereka menginginkan agar gapura ini dapat dibongkar.

Permasalahan pun sampai ke pihak Camat Gondokusuman. Camat kemudian turun langsung menanganinya. Ia menganjurkan kepada warga Sapen agar gapura sebaiknya dibongkar. Alasan yang dipakai adalah masalah estestika, yakni dirasa tidak indah. Warga, kata Budi, banyak yang tidak setuju atas rencana pembongkaran ini.

Meski sosialisasi banyak dilakukan oleh pihak pengelola, tapi arogansi menggulirkan rasa ketidakpuasan masyarakat.

Bangunan Sekolah Polisi Negara

BANGUNAN Sekolah Polisi Negara (SPN) terletak di Selopamioro, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Jogjakarta Didirikan di atas lahan sultan ground seluas tigapuluh hektar. Jalan menuju lokasi masih dalam tahap pengaspalan. Tak mudah untuk dapat mencapai tempat ini dari pusat Jogjakarta.

Kompleks bangunan terdiri atas dua bagian. Kompleks bagian depan terdiri atas bangunan-bangunan yang berfungsi sebagai bangunan utama dan ruang kelas. Di belakangnya, berjarak kurang lebih limaratus kilometer, ada kompleks asrama. Di asrama inilah kelak para siswa tinggal.

Pemrakarsa bangunan ini adalah kepolisian daerah (Polda) Jogjakarta. Pembangunan SPN tak lepas dari permasalahan amdal. Pada saat pembangunan sekolah ini sudah mencapai 75 persen, pembahasan ka-andal baru dilakukan di Bapedalda. Hasilnya belum ada keputusan apakah disetujui atau disahkan menurut hukum, namun peresmian SPN sudah dilakukan oleh Kapolda DIY. Acara tersebut dilaksanakan pada akhir Desember 2006 silam. Bersamaan dengan puncak acara rehabilitasi hutan dan lahan.

Secara kontras, dari data yang didapat Walhi, area bangunan berada pada area dengan dominasi kawasan lindung. Suparlan kemudian menjelaskan, bahwa lindung di sini adalah dalam konteks tata ruang kabupaten. Data ini dirujuk Walhi dari keterangan Bappeda Bantul.

Subiyantoro, Kasubag Konstruksi Bangunan Kepolisian Daerah DIJ, meminimalisir kekhawatiran terkait dengan kawasan lindung tersebut. Ia menjelaskan bahwa SPN bersifat ramah lingkungan. Bangunan fisik hanya sekitar duapuluh persen dari keseluruhan area. Sisanya, dipergunakan untuk penghijauan.

Alasan yang digunakan pemrakarsa atas pelanggaran prosedural amdal adalah masalah dana. Jika tidak segera dibangun, dana dari pusat akan hangus.

“Nah, pertimbangan kita, SPN harus segera dibangun dengan catatan amdalnya sambil jalan,” tukas Subiyantoro.

Walhi mengasumsikan bahwa pemrakarsa membangun bukan berdasar pada analisis dampak lingkungan, tapi berdasar pada uang saja. Mereka meminta pihak Polda sebagai pemrakarsa untuk membuat semacam klarifikasi ke publik mengenai penyalahan prosedural amdal ini ke media massa nasional.

Klarifikasi tersebut kemudian dimuat bulan Oktober 2006 di majalah Manggala yang dimiliki oleh Polri. Majalah ini dinilai pihak pemrakarsa telah memenuhi syarat sebagai media nasional karena mendapat izin dari Menteri Penerangan kala itu.

Saat kami klarifikasikan ke Polda, ternyata saat itu disana memang hanya terdapat ka-andal. Dokumen andal, RKL, dan RPL masih dalam revisi konsultan amdal. Subiyantoro menjelaskan, bahwa jauh-jauh hari sebelum pembangunan, pihak Polda meminta bantuan jasa konsultan. Setelah proses amdal berjalan dan yang menangani adalah KPDL Bantul, di luar dugaan terjadi gempa bumi 27 Mei 2006.

Proses amdal SPN pun terpaksa berhenti karena peralatan pelaksanaan operasional amdal KPDL Bantul mengalami kerusakan. Pihak KPDL Bantul lalu menyerahkan penanganan amdal SPN ke Bapedalda propinsi. Saat pelaksanaan pembangunan, masih ada revisi-revisi yang harus dilengkapi oleh konsultan.

“Kita menunggu undangan Bapedalda untuk sidang komisi yang terakhir,” ucap Subiyantoro ketika kami tanyakan kapan tenggat waktu dokumen amdal itu bisa diselesaikan.

Proyek bangunan ini tidak dikerjakan oleh satu kontraktor saja. Bangunan untuk ruang kelas dibangun oleh PT Karya Rencana Sejati, sedangkan kontraktor bangunan asrama siswa adalah PT Prambanan Dwipaka.

Sistem pengairan yang tidak baik rupanya sudah memberikan dampaknya pada bangunan asrama walaupun hal ini hanya merugikan pihak pemrakarsa.

Paeno, warga setempat yang sedang berada di lokasi bangunan, memperlihatkan kepada kami retak-retak yang dialami bangunan. Paeno pun menceritakan bahwa bangunan-bangunan disekitar lereng sudah banyak yang rusak karena tergerus air.

Proyek itu ternyata tidak mengikutsertakan proyek talud dan pengairan. Hanya proyek bangunan. Padahal jenis tanah di situ termasuk tanah baru sehingga sifatnya rentan.

Subiyantoro mengatakan, mengenai masalah kondisi bangunan tersebut bukan tanggungjawab Polda karena masih dalam masa pemeliharaan pemborong, yakni sampai sekitar bulan Juni 2007.

Masyarakat setempat pasrah saja menurut Paeno. Toh katanya, masyarakat bisa kecipratan untung dengan menjadi buruh cucian, dan remaja di sana bisa masuk sekolah tersebut. Namun ia khawatir pada arus modernisasi yang akan dibawa calon siswa, seperti persoalan narkoba misalnya.

Eko, warga yang rumahnya hanya beberapa meter dari SPN menceritakan bahwa rencana pembangunan sekolah ini pernah ditolak di desa lain, yakni di Minggir. Tapi Ia tidak menjelaskan lebih terperinci mengenai penolakan tersebut.

Pihak Polda membantah hal ini. Dari penuturan Subiyantoro didapat alasan bahwa mereka tidak jadi membangun di Desa Minggir karena opsi biaya beli dan biaya sewa yang cukup tinggi.

Akhirnya Polda menyurati pihak keraton untuk dapat menempati lahan Sultan Ground di Selopamioro. Balasan pun diterima dari pihak keraton untuk hak pakai tanah tersebut.

Paeno dan Eko, sama-sama tidak mengetahui bahwa kawasan tersebut adalah kawasan lindung tata ruang kabupaten. Dan lagi mereka tidak mengetahui apakah bangunan di desa mereka tersebut malanggar prosedural amdal atau tidak. Walaupun katanya, sosialisasi sudah banyak dilakukan oleh pihak Polda sebagai pemrakarsa.

Jalan Raya Jalur Lintas Selatan (JJLS)

Walhi menilai dampak pembangunan JJLS akan banyak berpengaruh pada keberlangsungan ekologi lingkungan. Prinsip akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan proyek harus secara obyektif. Ketakutan datangnya investor yang akan menguasai aset-aset sumber kehidupan di sepanjang jalur lintas selatan membayangi pembangunan ini. Meningkatnya volume sampah dan pencemaran di sepanjang pesisir pantai juga menjadi ancaman keberlangsungan ekologi.

Sanggahan dikeluarkan oleh Sudarmadji, ketu Bapedalda DIJ. JJLS dirasa bisa membuka isolasi-isolasi didaerah. Calo-calo tanah pun juga termasuk dalam materi amdal. JJLS ini direncanakan hanya memperlebar jalan yang telah ada.

Rencana membangun terowongan di gunung karst urung dilakukan. Masalah pegunungan karst inilah yang dikuatirkan banyak pihak, termasuk Bapedalda. Proyek transportasi ini merupakan proyek yang dicanangkan oleh pemerintah pusat yang melewati daerah-daerah.

Pada akhir tahun 2006 yang lalu, proyek ini sudah mulai dikerjakan. Rutenya adalah Legundi-Klampok dan Klampok-Tlogowarok. Biaya pembangunan ini murni berasal dari APBN, sedangkan kontraktor pelaksananya adalah PT Laju Baru.

Proyek Taman Nasional Gunung Merapi

Kasus lain adalah proyek Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Walau jelas dalam PP Nomor 27 Tahun 1999 tertera mengenai kegiatan yang mengubah bentang lingkungan wajib mempunyai amdal, proyek taman nasional ini sama sekali tidak ada amdalnya.

Perubahan fungsi dari hutan lindung menjadi taman nasional mempunyai ketentuan yang jelas dalam peraturan mengenai kehutanan, serta studi analisis yang matang. Kaitannya dengan amdal tidak dilakukan oleh pemrakarsa TNGM. Keluarnya SK Menteri Kehutanan Nomor 134 Tahun 2004 mengenai TNGM, tidak pernah melibatkan pemerintah kabupaten Sleman dan masyarakat sekitar.

Kasus ini mencuat sampai ke Mahkamah Agung. Walhi pernah membawa kasus TNGM ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Penggugatnya adalah warga sekitar lereng gunung Merapi. Sayangnya, kasus tersebut berhenti di tengah jalan karena tidak diterima.

Inilah yang menjadi kebinggungan dari pihak penggugat. Proses persidangan di PTUN sudah sampai dalam tahap kesaksian ahli, masyarakat dan akademisi, tapi jawaban yang diberikan oleh pihak pengadilan adalah tidak diterima.

Jika jawabannya ditolak, Walhi bisa menerima karena mungkin ada yang masih kurang. “Tetapi kalau jawabannya tidak diterima, kan seharusnya dia tidak melakukan prosedural sampai ke proses kesaksian ahli,” tukas Suparlan. Upaya banding pun diajukan Walhi ke Mahkamah Agung.

Zairin yang juga kuasa hukum dari pihak penggugat berpendapat, masalah TNGM memang tidak tepat jika di laporkan ke PTUN. Mungkin bisa melewati Judificial Review. Judificial review ini adalah hak uji materi. Untuk menilai apakah aturan yang digunakan untuk menetapkan TNGM itu sah menurut hukum atau tidak.

Pembangunan Plaza Book UGM

Walaupun prosedur memperoleh UKL-UPL relatif mudah, tak semua pemrakarsa bisa menepati peraturan itu. Seperti Plaza Book UGM yang terletak di Jalan Kaliurang, sampai bangunan ini berdiri pun belum punya UKL-UPL.

Tak hanya masalah UKL-UPL, Plaza Book UGM juga menuai masalah dengan batas minimal roi jalan, yaitu batas jarak minimal 10 meter antara bangunan dan jalan, yang ternyata kurang dari sepuluh meter. Jalan Kaliurang pun terpaksa diturunkan statusnya, agar Plaza Book UGM tidak harus dibongkar sebagian bangunannya.

Imbasnya juga kembali lagi ke masalah sosial. Para pedagang kaki lima di sekitar UGM yang berada di sisi-sisi Jalan Kaliurang pun protes dengan penurunan status Jalan Kaliurang karena mereka khawatir itu akan berimbas pada pendapatan mereka.

Rencana Mega Proyek Area Parkir Bawah Tanah Alun-alun Utara Jogjakarta

Yang cukup mencengangkan adalah rencana mega proyek pembangunan area parkir bawah tanah di Alun-alun Utara. Proyek ini digagas oleh Pemerintah Kota Jogjakarta dan Pemerintah Propinsi DIJ. Tujuannya adalah untuk mencapai tujuan akhir pedestrianisasi Malioboro dan usaha membuka sejumlah kantong parkir baru.

Meskipun mendapat tentangan dari sejumlah kalangan, saat ini studi kelayakan masih terus dilakukan oleh PT Duta Anggada Realty Tbk, investor proyek itu. Pengeboran tanah di Alun-alun Utara dan sepanjang Jalan Malioboro juga sudah dilakukan untuk diteliti tanahnya

Mantan Kepala Bapedalda, RM. Tirun Marwito menolak keras rencana pembangunan parkir bawah tanah ini. Seperti yang dikutip dari harian Kedaulatan Rakyat, “Saya tetap konsisten, tidak sepaham dengan rencana pembangunan pusat parkir dan pertokoan bawah tanah Alun-alun Utara. Bukan karena apa-apa, tapi semata karena dari sisi budaya, filosofi, maupun lingkungan, pemanfaatan kawasan tersebut tidak tepat,” ungkapnya.

Kalaupun rencana itu tetap dijalankan, ia meminta kepada pihak pemrakarsa untuk membuka ruang dialog yang seluas-luasnya. Sebab, sesuai prosedur amdal, proses dialog dengan melibatkan banyak pihak itu adalah sebuah kemutlakan. Kekhawatiran yang lain menurutnya adalah masalah fungsi Alun-alun Utara sebagai tempat peresapan air raksasa di kota Jogjakarta. Sumur-sumur warga juga bisa terkena imbasnya.

Menanggapi ini, Sudarmadji berujar, “Masalah ini kan baru hanya sekedar wacana saja. Nah, masyarakat Jogja kan kritis dalam menanggapi isu-isu. Kami juga memberi masukan kepada Sri Sultan mengenai ini. Jadi itu salah satu cara bermain cantik.”

Suparlan juga tidak setuju akan pembangunan ini. Walhi sempat mengeluarkan statemen mengenai rencana pembangunan ini. Keistimewaan Jogjakarta dikhawatirkan akan hilang jika parkir itu tetap dibuat di bawah alun-alun. Eksistensi inilah yang harus dijaga. Jika kota ini diubah menjadi kota metropolitan, justru akan memperlemah posisi Sultan sebagai Gubernur DIJ.q

No comments: