Saturday, August 4, 2007

Pada Suatu Hari, Untuk selamanya!!!

Djenar Maesa Ayu. Penulis buku dan pemain film Koper itu beberapa jengkal di depan saya. Selain itu, ada pula Garin Nugroho, sutradara dan penggagas Jogja NETPAC Asian Film Festival, acara yang sedang saya nikmati. Juga terlihat St. Sunardi. Salah satu akademisi kampus Sanata Dharma, yang beberapa hari lalu profilnya nampang di harian Kompas. Dia adalah ketua dewan juri festival ini. Selain mereka, ada juga beberapa juri dari negara-negara lain. Garin nampak mondar-mandir dan berbincang serius dengan beberapa orang yang memakai kaos merah dan co card berwarna senada. Di punggung orang-orang tersebut, yang saya yakin itu pasti panitia, tertulis dengan amat sangat jelas : volunteer. Sukarelawan. Alias tidak dibayar. Djenar sendiri sedang santai mengobrol dengan beberapa orang dibawah payung besar sambil menikmati kudapan. Memakai tank top bergaris-garis hitam putih, dan kacamata berkaca gelap yang nangkring di atas kepala. Gaya berjalan, menatap dan berbicara Djenar menginggatkan saya pada tulisan-tulisan yang ia buat. Lugas.

Di meja sebelahnya, St Sunardi rupanya sedang berusaha menghabiskan jatah makan dari panitia. Di kardus makannya, tercetak nama sebuah resto elit dan ekslusif di Kota Djokdja. Uban di rambut dan kacamata berbingkai tebal yang di kenakan membuatnya nampak lebih khas untuk dikenali. Cendikiawan Katholik itu diberitakan pernah mendalami islamologi dan bahasa Arab di Mesir selama beberapa tahun. Menyukai filsafat malah selepas dari Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Driyarkara. Sedikit janggal memang. Tapi mungkin memang begitulah kiranya, sepertinya harus menjadi orang aneh untuk menjadi sedikit tidak aneh.

Tak berapa lama, dari pengeras suara terdengar suara seorang panitia yang mengumumkan bahwa para penonton sudah bisa memasuki ruangan. Orang-orang yang masih di pelataran depan salah satu gedung Taman Budaya pun bersigegas masuk. Saya pun ikut beranjak. Bukan, bukan badan saya. Hanya pikiran yang berpulang pada beberapa menit sebelum saya melihat Garin, Djenar dan St Sunardi.

***

“Maaf Mbak, tiketnya sudah habis”, ujar penjaga bagian ticketing itu sambil meringis melihat saya meringis. Hanya bisa menggaruk-garuk kepala dan membalik badan berujar ke Indiah, kawan seperjuangan nonton, membilang persis apa yang dibilang mbak-mbak ticketing itu. Perjuangan melawan panas dan malas dari kost di Jalan Kaliurang menuju Djokdja kota berakhir pada kekecewaan : tiket film Tiga Hari Untuk Selamanya sudah sold out!!

Ya sudah, aku mau nonton orang saja, kamu mau kan nemenin aku? tukas saya pada Indiah. Ia mengangguk pasrah. Ia tentu sudah maklum pada kegemaran yang satu ini. Lantas kami pun mencari posisi strategis untuk kegiatan “menonton orang”. Kegiatan yang menyenangkan untuk meningkatkan sensitifitas membaca laku, tanpa penghakiman. Sepertinya memang tidak berjodoh untuk menonton film besutan Riri Riza tersebut. Bagaimana tidak, sewaktu pemutaran di salah satu bioskop yang mempunyai jaringan terbesar, salah seorang adik sedang berlibur di Kota Djokdja. Otomatis, tidak bisa meninggalkannya sendirian di kost sedang saya asyik menonton. Di ajak pun, umurnya baru 13 Tahun. dan saya berkesadaran penuh melihat range umur film ini harus berusia 17 Tahun ke atas. Walaupun lebih tinggi sepuluh cm, tapi sebagai kakak, mengerti betul kadar kedewasaannya belum bisa membedakan antara fiksi dan yang benar-benar fiksi.

Dan kini, saya terdampar di bawah pohon besar di depan gedung yang seharusnya saya sudah berada didalamnya menikmati perjalanan Jakarta-Djokdja, di film tersebut. Di bagian depan ada satu stand penjualan buku. Dan gairah pun menjadi normal kembali. Tapi tunggu dulu, disitu hanya ada beberapa buku populer model chicklit dan teenlit. Uhhh.., bukannya alergi, tetapi hanya sedikit kecewa. Setelah ditunda selama satu jam penonton film Tiga Hari Untuk Selamanya memasuki ruangan. Yah, tidak bisa “menonton orang” lagi..

Demi melihat poster film Kala, saya pun mengajak Indiah untuk melihat film garapan Joko Anwar itu. Tiket seharga limaribu perak sudah saya kantongi. Hanya saja harus menunggu dua jam lagi untuk menyaksikannya. Malas rasanya untuk kembali ke UII cik ditiro, apalagi ke kost dijalan Kaliurang. Selain panas, Djokdja di siang hari juga mulai menjengkelkan keramaian transportasinya. Saya lantas teringat pada kakak yang sekarang menjadi perempuan urban di metropolitan. Dalam telepon dan pesan pendeknya, tak jarang ia bercerita kalau ia sehabis jatuh, nyemplung di selokan, kesenggol mobil, nyenggol mobil, hampir di tabrak mobil sambil tertawa. Ah, sudah biasa, tukasnya. Tetapi buat saya, ke-biasa-an itu bisa mempengaruhi kesehatan pikiran. Merambah romantisme kota ini memang mengasyikkan pada waktu sore sampai malam hari.

Dan saya, beserta Indiah tentunya, lantas menelusuri Pasar Shoping yang letaknya disebelah Taman Budaya. Di tempat ini tersedia banyak koleksi buku. Ada juga makalah, skripsi, majalah dan kitab-kitab. Bekas maupun baru. Selain disini, tempat mencari buku yang murah meriah ada di jalan Terban. Kalau tidak ya, waktu bazaar buku. Acara yang sering di adakan di Djokdja. Inilah daya tarik kota ini. Sangat dinamis dari segi manapun.

Dari shoping, kami lantas menyeberang menuju Swalayan Progo. Mencari sebuah kado untuk seorang kawan. Indiah beberapa kali menginggatkan ketika saya ingin membeli suatu barang yang tidak begitu perlu. Menyingkirkan sikap gemar berbelanja memang tidak bisa serta merta diubah.

Pukul 15.15. Kami lantas menuju Taman Budaya lagi. Ternyata ada Zendy dan Abrar disana. Berempat, kami pun menonton film Kala. Film ini menarik dengan literatur yang diluar kebiasaan film Indonesia. Dibungkus dengan sentuhan cerita mengenai jurnalistik, kepolisian, dan yang menarik, ramalan Jayabaya. Sayangnya ada nuansa horor dengan memunculkan mahluk yang un-description. Dan klimaksnya adalah, ketika para penonton mengetahui bahwa Sang Ratu Adil yang selama ini ditunggu-tunggu ternyata adalah : seorang Gay!! Ada juga adegan persetubuhan yang tidak vulgar antara Fahri Albar dan Shanty, sebagai pemeran. Usai menonton, kami pun kembali ke basecamp, LPM HIMMAH.

Dan saya pun, semakin mencintai kota ini. Satu hari, untuk Selamanya..!!!!!

No comments: