Friday, August 3, 2007

Hikayat Gila

Foto By; Aditya Awan

Lelaki itu, sejarak sepuluh meter dari nyaman tempatku duduk. Merinai dibawah air hujan yang sesekali menyapu wajah keruhnya. Hanya termangu memeluk kaki dengan sinar mata sirat ukur harakat hari. Nanar dan kosong. Rambutnya panjang menjuntai sorai. Sebentar-sebentar ia coba benahi plastik yang halangi tubuhnya dari rintik nakal hujan. Ritual mandi yang serba kebetulan untuk orang sepertinya.

Bapak.

Ya, dia bapakku.

Lelaki yang duapuluh tahun lalu menimang orok merah yang kini sedang memandanginya. Sua yang sepi. Hembus dingin AC kafe dan hela nafas menjadi padu. Gigir angan dan ingatan tergores ke masa riang. Ada bapak, ibu dan aku. Hhh....

Uban putih coba hiasi apek rambutnya. Ah, rupanya kau telah menua. Limabelas tahun bukanlah rentang ulur waktu yang pendek. Tak mengamukkah lagi kau, Pak? Seperti ketika aku mengantarmu ke gerbang rumah sakit jiwa di ujung utara kota Magelang itu? Daun pohon asem bergoyang melihat tatapanmu saat gontai langkahku meninggalkanmu pergi. Dan kau sendiri disana.

Sesekali matanya beradu dengan si pejalan kaki yang menatapnya baur. Seorang durhakakah aku, jika membiarkanmu seperti ini? Yang membiarkan bapaknya sendiri ditertawai karena mereka menyandangkan predikat gila di berat beban bahunya. Hhh... kembali ku hela nafas. Apakah harus aku berteriak kepada mereka, yang merasa tidak gila, bahwa tidak ada kata gila di kamus psikologi. Bapakku hanya terkena skizofrenia!, skizofrenia!, runtukku.

Hujan berhenti. Tetapi tidak duniamu. Lelaki tua yang darahnya mengalir di aortaku itu beranjak dari kenyamanan emper berteduh. Ekor mataku mengikuti gerakannya. Merasa bebaskah kau, Pak? Ketika aku membiarkanmu berlari di hutan manusia dan jeruji rumah rumah sakit jiwa itu tak lagi kekang inginmu. Ketika hari tergoda bahagia, dan kau pun tertawa. Ataukah kini engkau merasa kaya, Pak? Dengan atap rumah seluas tadah langit dan lantai yang tak bermuara.

Langkah kaki membawaku mendekat ke tubuh ringkih itu. Kuulurkan sekotak nasi timbel kesukaannya. Makanlah, Pak. Sebab hari depan tak akan lagi kuikuti jejak kemana kau akan membawa duniamu lagi. Magnet benua di ujung Eurasia telah menarikku untuk memusarinya. Untukku memanggul judul dibelakang namaku. Dan kita akan dihubungkan oleh jarak. Ah, begitu jauhnya.

Dan kau pun masih tertawa. Masih, masih di riuh duniamu.



tulisan ini merupakan narasi untuk rubrik Fotografi majalah HIMMAH tahun 2007

No comments: