Friday, August 3, 2007

BAGAI MACAN TAK BERTARING (Amdal 3)


Beberapa badan milik pemerintah yang menjadi benteng pertahanan kelestarian lingkungan bergerak dengan keterbatasan wewenang. Keberpihaknnya pun dipertanyakan.


KANTOR Bapedalda Propinsi DIJ terletak di Jalan Tentara Rakyat Mataram Nomor 53. Masyarakat dapat mengajukan saran, pendapat, maupun tanggapan dalam proses amdal di sana. Pembentukan Bapedalda diperkuat oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, mengenai organisasi badan pengendalian dampak lingkungan daerah.

Kedudukan Bapedalda adalah sebagai unsur penunjang daerah, dan lembaga ini bertanggungjawab kepada kepala daerah.

Kepala Bapedalda Propinsi DIJ membawahi tiga bidang, sembilan sub bidang, sekertaris, dan kelompok jabatan fungsional. Di propinsi DIJ sendiri masing-masing kabupaten atau kota memiliki Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan (KPDL) sendiri.

Bapedalda Propinsi tidak ada hubungan hierarki dengan Bapedal pusat, yang kini telah bergabung dengan Kementrian Lingkungan Hidup. Kewenangan perencanaan pengelolaan lingkungan hidup daerah diserahkan seluruhnya pada masing masing daerah, termasuk di dalamnya adalah masalah pendanaan.

ADALAH komisi penilai amdal (KPA) dimana unsur Bapedalda menjadi ketua dan anggotanya, yang melakukan penialaian atas kelayakan amdal suatu proyek atau kegiatan. Pembiayaan dalam penyelenggaraan kerja KPA ini dibebankan pada anggaran Bapedalda, juga biaya jika terjadi konflik lingkungan.

Pembentukan KPA diatur dalam Keputusan Gubernur DIJ nomor 111 tahun 2002. Tujuan pembentukannya sendiri, adalah untuk membantu gubernur dalam memberi pertimbangan dari dampak suatu kegiatan.

Data yang diperoleh dari Kementrian Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa hanya ada 119 kabupaten atau kota yang memiliki KPA. Ini berarti, hanya sekitar seperempat dari keseluruhan jumlah kabupaten atau kota di Indonesia.

Anggota dari komisi ini terbagi atas komisi tetap dan tidak tetap. Ketua Bapedalda, wakil-wakil dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH), serta dinas propinsi dan kabupaten tergolong pada anggota tetap. Sedangkan anggota tidak tetap diantaranya ialah instansi terkait, masyarakat, dan organisasi lingkungan.

Disebutkan oleh Zairin Harahap, ketua LKBH UII, bahwa anggota komisi amdal banyak yang tidak didasarkan pada kepakaran. “Tetapi karena ex officio, karena jabatan, padahal orang yang menjabat itu belum tentu ahli dibidangnya” ungkapnya.

Dijelaskan dalam pasal 12 Keputusan Kepala Bapedalda mengenai penyelengaraan rapat komisi penilai, rapat terbagi dua, yaitu rapat periodik dan rapat khusus. Rapat perioik dilaksanakan sekurang-kurangnya tiga bulan sekali, dan rapat khusus diadakan jika dipandang perlu. Tidak ada penjabaran lebih lanjut mengenai rapat khusus ini.

Para akademisi perguruan tinggi atau para ahli yang terlibat dalam komisi penilai berpengaruh pada posisi kelayakan kegiatan amdal. Independensi dalam menilai dokumen amdal kemudian banyak dipertanyakan. Hal ini dikarenakan para akademisi ini sebagian besar juga menjadi konsultan penyusun dokumen amdal.

Dalam pemberitaan di harian Pikiran Rakyat terbitan 3 Februari 2005, Daud Silalahi yang Guru Besar Universitas Padjajaran menghubungkan hal ini dengan masalah CV atau curriculum vitae komisi. Proses seleksi para anggota komisi penilai harus dilakukan dengan ketat dan dinilai oleh pihak yang berkompeten.

Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Tata Lingkungan, Arie D.D Djoekardi, pada suatu artikel di situs Dirjen Bina Pembangunan, mengatakan bahwa KPA belum bekerja secara profesional. Penyusunan dokumen amdal banyak dilakukan bukan oleh orang yang benar-benar ahli di bidangnya.

"Misalnya saja bila kerangka amdal yang dibuat mengamanatkan perlunya studi lingkungan alam, maka studi itu tidak dilakukan oleh ahli lingkungan alam. Kadang studi itu hanya dilakukan oleh ahli lingkungan sosial yang pernah mengikuti kursus amdal. Kapasitas personal dan kelembagaan KPA masih rendah,” ujarnya. Rencana perbaikan amdal pun juga akan mengatur masalah pedoman perilaku bagi komisi penilai.

SELAIN komisi penilai dan konsultan, yang terlibat dalam sidang komisi adalah tim teknis. Menurut Budi Darma, sekretaris PSLH UGM, kerja tim teknis adalah membantu KPA untuk menilai dokumen amdal yang masuk dengan memberikan pertimbangan-pertimbangan teknis.

Persyaratan menjadi tim teknis adalah telah memiliki sertifikat penyusun dan penilai amdal yang diselenggarakan oleh PSLH bekerja sama dengan Bapedalda atau yang memiliki keahlian setara.

Komisi penilai dibantu oleh staf sekertariat. Staf berkedudukan di bawah sekertaris komisi. Tugas staf sekertariat adalah menyelenggarakan tugas-tugas kesekertariatan dan menyajikan saran, pendapat dan tanggapan dari masyarakat kepada komisi penilai.

Pemantauan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Fungsinya jelas, untuk mengetahui apakah pendugaan dampak sesuai dalam dokumen amdal dan pengelolaan berjalan sebagai mana mestinya.

Dalam RPL inilah seluruh upaya pemantauan semua komponen lingkungan hidup yang terkena dampak dituangkan. Ruang lingkup RPL terdiri atas jenis dampak, faktor lingkungan yang dipantau, tolok ukur dampak, lokasi, serta periode pemantauan. Semuanya tergantung pada jenis kegiatan.

Tugas yang diemban instansi lingkungan hidup, Bapedalda umpamanya, antara lain adalah pemantau dampak lingkungan. Melalui fungsi ini, diharapkan Bapedalda dapat mencegah terjadinya perluasan dampak suatu kegiatan terhadap masyarakat.

Dalam pembinaan pemantauan dan pengelolaan lingkungan, beban biaya tidak ditimpakan pada Bapedalda. Pemrakarsa sebagai instansi yang membidangi kegiatanlah yang berkewajiban membayar.

Tak jarang, konflik terjadi antara pemrakarsa dan masyarakat dalam permasalahan lingkungan. Pada saat itulah Bapedalda turun langsung ke lapangan.

“Kalau kami perkirakan konfliknya banyak, ternyata hanya menghabiskan uang sedikit, maka kami kembalikan uangnya ke propinsi,” papar Sudarmadji, ketua Bapedalda DIJ. Di tangannya, sebagian wewenang mengenai pengendalian dampak lingkungan hidup berada.

Membawahi sekitar 80 orang staf, ia melaksanakan tugas dan fungsi Bapedalda seperti yang tertera dalam Peraturan Daerah Propinsi DIJ Nomor 2 Tahun 2004. Sumber anggarannya sendiri diperoleh dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta Nasional.

“Kami memfasilitasi dua pihak yang bermasalah,” kata Sudarmadji. “Walau tidak gampang memenuhi kebutuhan semua keinginan masyarakat, tapi apa yang saya tangkap harus saya dengar,” imbuhnya.

Sebagai pemantau, Bapedalda juga bekerja sama dengan dinas-dinas yang lain, misalnya pemeriksaan labolatorium lingkungan dilakukan di Balai Teknik Pengujian Lingkungan (BTPL) milik Dinas Kesehatan.

“Kami punya alat-alat di sana. Tapi nggak punya tempat. Ya kerjasama lagi,” papar Sudarmaji.

Di Jogjakarta, hanya ada beberapa labolatorium yang memenuhi persyaratan teknis sebagai labolatorium lingkungan. Diantaranya adalah Labolatorium Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Labolatorium Kimia Analitik BATAN.

Dalam kaitannya sebagai kepala badan lingkungan tertinggi di Jogjakarta, Sudarmaji mengaku sangat memerlukan kontrol dari semua elemen masyarakat, tak terkecuali bantuan dari LSM dan mahasiswa pecinta alam dalam fungsi pemantauan lingkungan.

Ia menghargai keaktifan yang dilakukan organisasi-organisasi tersebut. Visi dan misinya pun dirasa sejalan. Perbedaannya pada cara. Cara mereka menyuarakan cukup keras. Berbeda dengan Bapedalda yang harus bisa ngemong dimana-mana, dan mempunyai hubungan yang mesra dengan semua pihak. Bermain cantik, istilah Sudarmaji.

“Tapi jangan sampai bermain cantik itu terbawa arus. Saya punya garis harus melangkah kemana,” tegasnya.

Namun suara miring datang dari Walhi. Bapedalda dan Dinas Lingkungan Kota Jogjakarta dinilai tidak tegas dalam menindak pelanggaran amdal.

”Masih banyak kesungkanan dalam lembaga ini,” komentar Suparlan. Menurut penilaiannya, lembaga-lembaga lingkungan masih mempunyai kebinggungan dalam pembahasan amdal. Jika lembaga lingkungan saja masih bingung, bagaimana dengan masyarakat?

“Kalau ada apa-apa jangan salahkan kami, kami ini moral perangnya,” sanggah Sudarmaji. Bapedalda menurutnya hanya semacam memberi rekomendasi untuk studi amdal, tidak berhak menerbitkan ijin dan mengadili pelanggaran.

Apakah perlu adanya reformasi kelembagaan lingkungan hidup?

Zairin menjawab, semestinya Kementrian Lingkungan Hidup menjadi Departemen Lingkungan Hidup. Menteri Lingkungan Hidup adalah menteri negara yang hanya bisa melaksanakan koordinasi. Dengan menjadi sebuah departemen, tentu akan mempunyai kewenangan yang lebih besar.

Namun membentuk departemen pun, membutuhkan dana negara yang tidak sedikit. “Mungkin memang masalah lingkungan itu dianggap sebelah mata,” ujarnya.

Kekurangan sumber daya manusia yang berkualitas juga masalah tersendiri bagi Bapedalda. Dalam rencana strategik Bapedalda, poin ini menjadi urutan pertama. Kompentensi, kemampuan, dan profesionalitas aparat badan harus ditingkatkan. Indikator keberhasilannya adalah sarana prasarana terpenuhi dan prestasi kerja meningkat.

Bentuk instansi pun menjadi persoalan. Menurut Harry Supriyono, pakar amdal PSLH UGM, jika instansi lingkungan di kabupaten masih berbentuk kantor, bukan lembaga, posisi ini kurang kuat. Mestinya sejajar dengan dinas. Karena jika hanya sebagai kantor, pegawainya hanya pada eselon tiga. Padahal sebagai instansi lingkungan harus bisa terintegrasi dengan sektor yang lain.

“Bagaimana bisa disegani institusi lain jika para pegawai eselonnya ada di bawah para pegawai institusi lain tersebut? Instansi lingkungan istilahnya kalah awu,” kata Harry.q

No comments: