Friday, August 3, 2007

MENGUAK CACAT AMDAL ( amdal 1)



Foto By : Syahrainy Aisyah

Bermula dari Amerika Serikat, tahun 1969. The National Enviromental Policy Act of 1969 (NEPA 1969) diperkenalkan sebagai sebuah instrumen untuk mengendalikan dampak segala macam kegiatan yang bisa merusak kelestarian lingkungan. Bentuknya peraturan. Dalam perkembangan selanjutnya, peraturan ini diadopsi oleh banyak negara.

Tahun 1982, Indonesia mengeluarkan undang-undang (UU) lingkungan hidup. Dari sinilah masyarakat Indonesia mengenal istilah analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). UU ini diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1986, yang kemudian diganti PP Nomor 51 Tahun 1993, dan terakhir diganti lagi dalam PP Nomor 27 Tahun 1999.

Pemerintah membentuk Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup (Bapedal) melalui Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 untuk melengkapi pelaksanaan peraturan tersebut. Ada tingkat pusat dan daerah, meskipun keduanya tidak memiliki hubungan hierarki struktural. Bapedal pusat kini berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup.

Badan-badan itu menjadi benteng pembela kepentingan ekologi atau lingkungan. Pada praktiknya, kepentingan yang hakikatnya adalah kepentingan bersama dan bersifat jangka panjang itu sering terkalahkan oleh kepentingan praktis materialis yang disebut kepentingan ekonomi. Studi amdal menjadi formalitas saja. Seperti disebutkan dalam website Sinar Harapan, sebanyak sepuluh ribu hasil studi amdal di Indonesia teronggok menjadi kertas dokumen tak terlaksanakan.

Di Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ), sebuah propinsi yang derap pembangunannya deras terasa, pelaksanaan amdal menuai banyak kritik dari para pemerhati lingkungan. Dugaan manipulasi amdal maupun praktek kolusi pun menyeruak tatkala banyak proyek pembangunan dijalankan sebelum izin amdalnya lolos. Pun proses analisis banyak dokumen amdal dikerjakan asal-asalan atau hanya mengandalkan hasil pekerjaan pihak lain.

Bermacam proyek seperti mal, rumah sakit, jalan raya, taman nasional, asrama mahasiswa, dan masih banyak lainnya dihujat oleh para pemerhati lingkungan ketika Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)-nya dinilai tidak benar. Dampaknya, berbagai persoalan lingkungan tak terelakkan lagi.

Bapedal daerah (Bapedalda) terkesan lemah menyikapi hal ini. ”Fungsi kami sebatas himbauan moral,” begitu pembelaan Sudarmaji, ketua Bapedalda DIJ. Kewenangan pengambilan keputusan tetap ada di tangan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Sayangnya, peraturan yang mengatur sanksi hukum terhadap para pelanggar peraturan lingkungan pun cukup ringan, sebatas sanksi administratif.

Terkait dengan pembangunan dan otonomi daerah, keberpihakan pada lingkungan tetap dinomorduakan. Seperti revitalisasi amdal yang tersirat tujuan untuk memuluskan laju investasi, bukannya semakin memperketat kemungkinan pelanggaran linkungan. Bahkan pernyataan ini dikeluarkan oleh pejabat Kementerian Lingkungan Hidup yang notabene adalah salah satu benteng pertahanan kelestarian lingkungan sendiri.

Walhasil, pembangunan proyek terus dijalankan meski persoalan dampak lingkungannya belum terpikirkan. Lantas kemanakah keberpihakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, sebagai pengambil keputusan? Semua pihak tak seharusnya menutup mata karena sebenarnya masalah ekologi adalah untuk kepentingan masa depan umat manusia sendiri. Namun inilah dunia amdal. Sebuah penghilangan hak atas lingkungan hidup, bermula dari suatu dokumen bernama amdal.

No comments: