Friday, August 3, 2007

Serinai Kidung Sang Pengabdi

Foto By : kiky kurniawan

Potret pengabdian tanpa pamrih para abdi dalem juru kunci keraton di tengah hiruk pikuk kehidupan yang serba pragmatis. Adakah penghargaannya?


SUASANA lengang pagi itu. Hanya ada beberapa orang sedang beristirahat di teras masjid. Gapura Paduraksa menjadi tugu penyambut kehadiran para pengunjung kompleks pemakaman Kotagede.

”Masuk gapura kedua ini, lurus aja Mbak,” tukas seorang ibu, memberi tahu dimana saya dapat bertemu para abdi dalem juru kunci.

Dua buah bangunan berdinding kayu tampak dipenuhi beberapa orang yang mengenakan baju beskap dan kain. Di tempat inilah para juru kunci melaksanakan tugasnya sehari-hari sebagai abdi dalem keraton. Pada dinding bangunan tertempel beberapa foto kegiatan para juru kunci dan peraturan di Makam Kotagede. Beberapa juru kunci terlihat sedang membersihkan pelataran tanpa menggunakan alas kaki.

“Honggo Budoyo,” ujarnya ketika memperkenalkan diri. Lelaki berumur 51 tahun ini merupakan salah satu juru kunci di makam tersebut`. Hari itu ia yang bertugas menerima tamu dan mencatat para peziarah yang mengunjungi makam. Diatas meja tugasnya, tergeletak buku tamu, kotak amal serta rokok kretek ber-merk Lodjie. Beberapa juru kunci lainnya terlihat sedang berbincang-bincang santai dibelakang tempat duduk kami.

Sama halnya dengan komplek di Makam Imogiri dan Makam Kotagede, juru kunci keraton pun dibedakan menjadi juru kunci Surakarta dan Yogyakarta. Honggo sendiri merupakan abdi dalem juru kunci Surakarta. Di makam Kotagede ini, juru kunci Yokyakarta berjumlah 40 orang dan Surakarta 15 orang. Mayoritas juru kunci merupakan masyarakat yang bertempat tinggal didaerah sekitar makam.

Honggo kemudian menuturkan ihwal ia menjadi juru kunci di makam tersebut. “Bapak saya yang menyuruh. Katanya, karena saya sudah menikah.” ujarnya. Tapi Ia tak langsung mengiyakan perintah ayahnya itu. Baru beberapa tahun setelah menikah, ia mau mengikuti proses magang sebagai abdi dalem. Sebelum menjadi abdi dalem, memang ada peraturan untuk menjalani kegiatan magang terlebih dahulu. Setelah melewati masa magang selama tiga tahun, Honggo kemudian diangkat sebagai abdi dalem tetap. Ia lalu diberi kekancingan, yaitu sejenis surat pengangkatan jabatan. Waktu magang para juru kunci tidak tentu. “Ada yang tiga, lima tahun, bahkan ada yang sampai 12 tahun,” tukas Honggo sambil sesekali terbatuk. Oleh ayahnya, ia dibekali wejangan untuk bekerja dengan baik, serta tidak mengecewakan ketua. Sampai sekarang, Ia berusaha mematuhi perkataan ayahandanya tersebut.

Walaupun sudah mengabdi selama 22 tahun, pangkat Honggo sebagai abdi dalem masih seorang jajar. Ia menuturkan bahwa urutan jabatan abdi dalem Keraton Surakarta bermula dari seorang jajar, lurah muda, lurah tua, mantri, penewu, raden tumenggung kemudian yang terakhir adalah KRT atau Kanjeng Raden Tumenggung. Sedangkan untuk Keraton Yokyakarta yaitu jajar enom, jajar sepuh, lurah, mantri, penewu, wedana, riyo, bupati anem, bupati, bupati kiwo dan yang tertinggi adalah nayoko.

Abdi dalem juru kunci makam Kotagede sendiri dibawah naungan pimpinan yang berada di Makam Imogiri. Juru kunci Surakarta dipimpin oleh KPH Suryo Negoro, sedang Yogyakarta dipimpin oleh KRT Hastono Nagoro. Mereka inilah yang berhak mengangkat dan memecat seorang abdi dalem juru kunci.

Ketika ditanya mengenai suka duka kehidupan seorang juru kunci keraton, Honggo dengan cepat menukas, “ Wah, kalau dukanya itu nggak ada, hatinya itu selalu senang.” Ia kemudian menambahkan, “Pokoknya hidupnya tenteram.” Selama wawancara, Honggo yang tamatan Sekolah Dasar ini memang kerap mengatakan bahwa ia hanya mencari ketentraman batin sebagai abdi dalem.

Tidak ada kriteria khusus atau prasyarat tertentu untuk menjadi abdi dalem juru kunci kedua makam keraton ini. Orang luar pun dapat masuk asalkan bisa lulus seleksi selama magang. Waktu pembukaan pendaftaran menjadi juru kunci, menurut Honggo tidak menentu.

Selang beberapa waktu kemudian, beberapa juru kunci terlihat meninggalkan pelataran makam dengan terburu-buru. Honggo menjelaskan bahwa mereka abdi dalem juru kunci Yokyakarta yang sedang dipanggil pihak keraton untuk menerima jatah beras. Jatah beras tersebut, baik dari Keraton Yokyakarta atau Surakarta, menurutnya tidak tiap bulan didapat. Hanya pada waktu tertentu yang ditetapkan oleh keraton.

Ketika disinggung masalah gaji, Ia menuturkan bahwa bukan gaji, tapi blanjan, atau uang belanja. “Kalau gaji berpuluh-puluh ribu, mbak,” ujarnya sambil tertawa. Ia menambahkan bahwa gaji seorang abdi dalem Surakarta berkisar 50-500 ribu. Ini tergantung pada jabatan abdi dalem tersebut. Honggo, yang masih seorang jajar, digaji Rp. 55.000 per bulan. Sedang abdi dalem jajar Keraton Yogyakarta, lanjut Honggo, hanya Rp. 4.700 per bulan. Dari belakang, rekannya sesama juru kunci ikut menambahkan, “Dibulatkan saja mbak, jadi Rp.5000,”

Sebelum menjadi juru kunci, Honggo mempunyai kerja sambilan sebagai pengrajin perak Kotagede. “Sekarang saya nganggur, sudah tua,” ucapnya sambil menerawang. Ia mengaku tidak tertarik berpindah ke pekerjaan lain. Honggo juga mengungkapkan harapannya untuk bisa menjadi abdi dalem juru kunci sampai akhir hayatnya. Itupun, katanya, jika tidak ada halangan.

Istri dan dua orang anak Honggo tidak merasa keberatan dengan pekerjaannya sekarang. Mereka merasa bangga ayahnya menjadi abdi dalem keraton. Kedua anak Honggo tidak ada yang bisa meneruskan pekerjaannya karena keduanya adalah anak perempuan. Untuk membantu keuangan keluarga, istrinya lantas menjadi penjahit di rumah.

Ditengah-tengah pembicaraan kami, datang seorang lelaki yang ingin berziarah. Honggo pun pamit sebentar untuk melayani tamu tersebut. Ia terlihat terampil membantu sang tamu mengenakan pakaian peranakan Jawa. Memang ada aturan pemakaian busana untuk memasuki makam keraton di Kotagede dan Imogiri. Peziarah lelaki wajib mengenakan beskap, kain dan blankon, sedangkan peziarah wanita memakai kemben dan kain. Peraturan lain yaitu pelarangan pemakaian perhiasan dan membawa kamera. Peziarah perempuan dalam memakai kemben biasa dibantu oleh istri abdi dalem. Peziarah tersebut kemudian diantar menuju makam oleh juru kunci lainnya.

Pekerjaan sehari-hari juru kunci selain melayani dan mengantar peziarah ke makam adalah membersihkan seluruh komplek makam. Bunga dari para peziarah yang berada diatas pusara dibersihkan setiap hari Kamis. Setiap bulan Maulud, para juru kunci juga mempunyai kegiatan menguras Sendang Seliran yang berada di komplek makam tersebut. Sendang Seliran sendiri terdiri dua buah sendang, yaitu Sendang Seliran Kakung milik Keraton Surakarta dan Sendang Seliran Putri yang dimiliki Keraton Yokyakarta.

Pekerjaan sebagai juru kunci dimulai pada pukul delapan pagi sampai jam delapan pagi lagi pada keesokan harinya. Juru kunci Yogyakarta bertugas giliran setiap enam hari sekali. Sedangkan juru kunci Surakarta, bertugas tiap lima hari sekali. Ada pembagian khusus dalam membawa kunci makam. Setiap limabelas hari sekali kunci berpindah tangan dari juru kunci Yogyakarta ke juru kunci Surakarta, dan sebaliknya.

Jam kerja juru kunci sendiri tidak terlalu mengikat. Jika salah seorang juru kunci mempunyai keperluan mendesak, ia bisa minta ijin kepada rekannya sesama juru kunci. “Misalnya saja saya mau mantenan, tinggal ngomong sama teman disini berangkat jam berapa,” kata Honggo.

Berjaga selama 24 jam sehari rupanya tidak menjadi alasan untuk mengeluh. Para tamu yang kerapkali datang pada malam hari tetap mereka layani. Honggo sebisa mungkin menahan pegal, karena terlalu lama duduk, jika banyak peziarah yang datang. Jika tidak, ia pun bisa merebahkan diri di ruangan juru kunci.

Honggo beserta juru kunci lainnya tidak membedakan setiap tamu yang datang. Kaya atau miskin, diterimanya dengan senang hati. Ia lalu menceritakan tentang pejabat-pejabat yang pernah berziarah di makam tersebut. “Pak Harto kalau kesini langsung masuk ruang dalam situ, menghindari kerumunan,” kata Honggo mengenang sang mantan presiden sambil menunjuk ruangan di sebelah kami.

Kekerabatan antar juru kunci pun terbilang sangat kuat. Iuran per orang sering dilakukan jika ada salah seorang dari mereka yang masuk rumah sakit atau terkena musibah. Tak hanya itu, abdi dalem Surakarta setiap malam Jumat Pon mengadakan tahlilan di masjid. Abdi dalem Yokyakarta sendiri, setiap malam Grebeg bulan Maulud dan tanggal 27 Rejeb Penanggalan Jawa, juga mengadakan tahlilan bersama. Kedua acara tersebut bertujuan untuk memperingati Maulid Nabi dan Isra Mi`raj.

Kedekatan antara para abdi dalem juru kunci dengan rajanya, yakni Sultan Hamengkubuwono X dari Yokyakarta dan Sunan Paku Buwono XIII dari Surakarta terkesan tidak terlalu dekat. Hal ini disebabkan adanya peraturan bahwa raja setelah diangkat tidak boleh mengunjungi makam. Tetapi sehari sebelum penobatan, calon raja wajib berziarah ke makam Kotagede dan makam Imogiri. Honggo sendiri mengaku tidak banyak tahu mengenai asal muasal peraturan-peraturan yang diterapkan dimakam tersebut.

Usia rupanya tidak membatasi seseorang menjadi seorang abdi dalem juru kunci. Di makam Kotagede juru kunci paling muda berusia 36 tahun dan yang tertua 90 tahun-an. “Yang paling tua ini sekarangudah nggak aktif, tapi tetap jadi abdi dalem,” tukas Honggo. Hastono Wahyudi, juru kunci paling muda, hanya tersenyum ketika saya menanyakan apakah gajinya sebagai abdi dalem dari Yokyakarta dapat mencukupi hidupnya.

Jabatan sebagai juru kunci makam keraton memang mayoritas turun-temurun dari para orang tua. Mereka biasanya menginginkan anaknya meneruskan pekerjaan mereka sebagai abdi dalem. Hal ini pula yang membuat Godho Rasiko mau menggantikan ayahnya menjadi juru kunci makam kotagede. “ Tapi disini cuma kerja sambilan mbak, saya juga kerja membantu praktek dokter spesialis kandungan,” tukasnya. Dalam menjadi juru kunci, ia hanya berniat mengabdi pada keraton.

Godho merupakan juru kunci yang baru diangkat beberapa hari pasca gempa 27 Mei silam. Bersama lima calon juru kunci lainnya, ia dilantik oleh KRT Suryo Negoro di tenda pengungsian Imogiri. Seperti Honggo, keluarganya tidak keberatan ia menjadi abdi dalem yang penghasilannya kecil. Salah seorang anaknya bahkan sedang menempuh kuliah di salah satu universitas swasta di Yogyakarta.

Saat itu Godho sedang berjaga di Pendapa Sapit Urang. Di pendapa ini terpampang lukisan Panembahan Senopati dan Kyai Ageng Pamanahan. Dari tempat tersebut, para peziarah diantar menuju bangunan inti makam. “Sebenarnya ini tempat juru kunci yang senior. Tapi karena semua pergi mengambil beras, jadi saya yang jaga,” ungkap Godho.

Ketika hari beranjak siang, saya berpamitan pada juru kunci makam Kotagede untuk menuju makam Imogiri. Sebelumnya tak lupa saya menengok Sendang Seliran yang terkenal dengan lele putihnya. Sendang tersebut biasa digunakan keluarga abdi dalem juru kunci untuk keperluan sehari-hari. Di lereng atas sendang, beberapa pekerja sedang memperbaiki bangunan makam yang rusak terkena gempa.

Makam Imogiri atau yang lebih terkenal dengan Pajimatan Imogiri, terletak 17 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta. Dari Kotagede, saya memerlukan waktu sekitar 20 menit dengan mengendarai sepeda motor. Disisi-sisi jalan menuju Imogiri, mata tertumpu pada keganasan bencana gempa yang meluluh-lantakkan wilayah ini.

Tiba disana, saya diantar seorang pemandu menuju kompleks makam. Di beranda masjid, saya bertemu dengan salah seorang juru kunci yang saat itu menjadi imam masjid. Namanya Daldiri R.Mangun Pamudjo. Kami pun berbincang-bincang di bangunan pendapa depan masjid.

Disisi kanan pendapa, terdapat tangga trap sewu menuju makam. Dinamakan trap sewu karena jumlah anak tangganya yang banyak, yakni 345 buah.

Lelaki yang akrab disapa Daldiri ini, sudah 43 tahun mengabdi sebagai juru kunci. Pangkatnya sendiri sudah naik menjadi seorang mantri. Berpuluh tahun bekerja menjadi juru kunci tidak membuatnya jenuh terhadap pekerjaan ini. Niat yang bulat sudah ia tandaskan dari awal bekerja.

Seperti juru kunci lainnya, Daldiri juga mengikuti jejak ayahnya dalam meniti pekerjaan ini. Kepada anak-anaknya, sang ayah menganjurkan agar ada sisi lanjutan ke generasi penerus. Tapi tidak semua saudaranya menjadi abdi dalem. “Adik saya, Prof. DR. Joko Sasmito, malah menjadi dosen di UGM,” ujarnya. Ia sendiri mengaku hanya lulusan Sekolah Teknik Menengah.

Ia pun kemudian menjalani magang di Makam Imogiri. Beberapa tahun setelah magang, ia mengaku didatangi macan putih. Macan yang disebut Kyai Kopek itu dipercayai sebagai jelmaan Sultan Agung. Oleh Bupati Makam Imogiri ia kemudian dikukuhkan sebagai abdi dalem juru kunci. Bupati tersebut meyakini kedatangan Kyai Kopek sebagai tanda bahwa dirinya sudah pantas diangkat jadi juru kunci.

Dari awal bekerja, yakni tahun 1963, Daldiri hanya digaji sebanyak Rp. 1.250,-. Seiring bertambahnya tahun, gajinya juga naik demi sedikit. “Tapi pertambahannya cuma berapa persen,” imbuhnya tanpa kesan mengeluh. Tanggal pemberian gaji pun tidak menentu. Dahulu, pada pemerintahan Sunan Paku Buwana XII gaji selalu diberikan tanggal enam atau tujuh awal bulan, tapi kini tidak lagi.

Senada dengan juru kunci lainnya yang saya temui, Ia juga mencari ketentraman sebagai abdi dalem. Tradisi mengabdi sendiri diyakini menjadi refleksi budaya Jawa yang menempatkan keraton sebagai sentral kehidupan. Sehingga, para abdi dalem mencari ketentraman hidup dari sentral kehidupan itu sendiri. Gaji atau blanjan, tidak menjadi orientasi hidup mereka.

Yang membahagiakan menjadi juru kunci menurut Daldiri, jika bisa berjabat tangan dengan para pejabat dan orang-orang terkenal. Hal lain ialah kalau dapat bertemu dan bertegur sapa dengan para peziarah yang datang. Hubungan antara juru kunci dan peziarah pun kerap berlanjut diluar urusan ziarah. Beberapa dari mereka bahkan masih ada yang mengiriminya sejumlah uang untuk menopang biaya hidup.

Pada awal mula ia menjadi juru kunci, ia sedikit mengalami kesulitan. Menurut penuturannya, makam Imogiri kala itu masih berupa hutan yang sangat gelap, baik siang ataupun malam hari. Untuk penerangan, ia hanya menggunakan mancung. Mancung adalah pucuk pohon kelapa. Bagian pohon itu kemudian dibelah-belah, dikeringkan kemudian dinyalakan sebagai obor. Sebelum ada listrik, alat penerangan berganti-ganti dari mancung, ting, sentir serta teplok. Saat menggunakan ting, Daldiri harus mengambil minyak di dekat terminal Imogiri per setengah gayung. Di waktu itu memang ada peraturan maksimal pengambilan minyak hanya setengah gayung. Ia pun harus rela bolak-balik mengambil minyak itu jika habis.

Untuk menambah penghasilan, ia juga mempunyai kerja sampingan. “Kalo nggak kerja disini, ya saya sering kepasar jualan jam atau sepeda,” tukasnya. Barang-barang tersebut, didapatnya dari teman-temannya sesama juru kunci. Ia biasanya berjualan di Pasar Imogiri. “Sekarang pasarnya hancur ya. Kena gempa,” ucapnya.

Walaupun digaji sedikit dari Keraton, Daldiri beserta juru kunci lain biasanya juga mendapat uang dari para peziarah yang berbelas kasih. “Ya kadang limaribu, sepuluh ribu, kadang kalau pejabat limapuluh ribu,” ungkapnya. “Seikhlas yang ngasih,” imbuhnya lagi. Tetapi pernah terjadi, dalam jangka waktu yang relatif lama, ia mengalami kekurangan uang. Sehari, ujarnya, ia hanya punya uang Rp.250,-. Uang itupun digunakan untuk membeli satu bungkus nasi sehari. “Minumnya minta penjualnya,” katanya sambil tersenyum mengenang masa-masa pahit.

Daldiri ketika saya temui terlihat mengenakan baju batik. Ia mengatakan karena sehabis shalat, jadi belum memakai pakaian dinas juru kunci. Lebih lanjut lagi, ia kemudian menjelaskan bahwa pakaian dinas abdi dalem Surakarta terdiri dari 12 pasang pakaian. Masing-masing pakaian dipakai jika ada acara atau kedatangan orang tertentu. Pakaian warna putih dikenakan kalau Presiden yang datang dan pakaian hijau dipakai jika yang datang berkunjung adalah seorang menteri. Pakaian untuk kunjungan ABRI, pejabat lain, ataupun untuk kegiatan tertentu pun dibedakan. Pakaian tersebut didapatkannya dari keraton. Berbeda dengan Surakarta, abdi dalem Yokyakarta hanya mempunyai satu stel pakaian dinas juru kunci. Pakaian yang berwarna lurik hitam atau biru tersebut, dibeli sendiri oleh masing-masing juru kunci.

Bekerja di makam rupanya tidak membuat Daldiri menjadi menghamba pada hal-hal yang mistis. “Pedoman saya hanya Al Quran dan Al Hadits!,” ucapnya mantap. Ia mengatakan bahwa memang banyak peziarah yang mencari berkah di tempat tersebut. Kalau bertemu dengan peziarah seperti itu, ia hanya bisa memberi saran agar jangan berbuat syirik. Beberapa diantara peziarah banyak juga yang minta didoakan oleh juru kunci. Biasanya mereka didoakan agar menjadi orang sukses. Peziarah seperti ini yang biasanya loyal memberi uang kepada para juru kunci. Para artis, kata Daldiri, banyak juga yang minta penglaris di tempat ini.

Beberapa tahun setelah menjadi abdi dalem, ia berusaha mengajak anak-anak sekitar untuk belajar mengaji di masjid makam Imogiri. Sampai sekarang, ia masih dipercaya menjadi salah satu takmir disitu. Masjid itu sendiri didirikan bersamaan dengan komplek pemakaman pada tahun 1632 M. Semua tubuh bangunannya masih asli. Tak terkecuali jam besar yang berdentang tiap jam sekali.

Ketika di tengah wawancara ada dua turis asing yang terlihat kebingungan, Daldiri kemudian menyapa mereka. Bahasa Inggrisnya terlihat fasih. Ia kemudian menyilahkan turis tersebut untuk naik keatas komplek makam.

Kenaikan pangkat abdi dalem juru kunci Yokyakarta terjadi setiap lima tahun sekali. Peraturan ini muncul sejak Sultan Hamengkubuwono X. Sedangkan abdi dalem juru kunci dari Surakarta tidak menentu. Tergantung pada kebijakan sang bupati, sebagai pimpinan. Pemecatan dan skorsing pun, tambah Daldiri, merupakan kewenangan penuh bupati. Sopan santun dalam menjawab, cara sungkem dan menginjak pendopo, merupakan beberapa contoh penilaian kepada seorang juru kunci.

“Saya berhati-hati kalau berbicara pada bupati. Saya kan bekerja udah lama, jadi udah tahun sikonnya,” ucap Daldiri. Tapi beberapa rekannya ada yang sudah terkena skors, bahkan dipecat.

Sayangnya, ia tak bisa meneruskan pekerjaan sebagai juru kunci pada keturunannya. Daldiri memilih hidup melajang. Sisi lanjutan sebagai juru kunci dari ayahnya pun tidak bisa dipenuhi olehnya. Ia hanya mengharap kesehatan badannya agar bisa terus bekerja sebagai juru kunci.

Saat terjadi gempa dua bulan yang lalu, ia sedang berada dimasjid makam. Juru kunci lainnya yang sedang bertugas, bergegas menuju rumah mereka yang roboh. Karena tidak berkeluarga, ia lantas disuruh pimpinannya untuk menjaga makam seorang diri. Gempa susulan yang kerapkali datang, diacuhkannya. Karena gempa itu pula, banyak bangunan makam yang hancur. Beruntung, rumahnya yang hanya berjarak sepuluh meter dari komplek makam, tidak rusak parah.

Karena gempa juga, makam Imogiri dan Makam Kotagede relatif sepi pengunjung dibanding hari biasanya. Hal ini tentu berimbas pada pendapatan penjual makanan sekitar makam, pemandu dan penjaga parkir yang mayoritas keluarga dari juru kunci.

Meski sehari-hari bergelut di pemakaman, ini tidak menjadikan lelaki berusia 64 tahun ini buta terhadap dunia luar. Dalam pembicaraannya, Daldiri kerap menyinggung mengenai masalah politik. Ia mengaku sangat mengagumi Amien Rais, yang menurutnya, mampu menumbangkan rezim Soeharto. Ia juga membicarakan perebutan tahta di Keraton Surakarta antara Hangabehi dan Tedjowulan. Sebagai abdi dalem, ia tentunya mendukung Raja yang ada di lingkup keraton, dalam hal ini Hangabehi. Walau begitu, ia juga mengemukakan kritiknya ke pada Sang Raja.

Karena pengabdian yang tinggi, Daldiri masih bertahan menjadi juru kunci makam keraton di usianya yang sudah berkepala enam ini.

Pengabdian pulalah yang membuat Giyanto mau menjadi seorang abdi dalem juru kunci. Lelaki yang bergelar Mas Ngabehi Jogokaryo ini, sudah 17 tahun menekuni pekerjaan sebagai juru kunci. “Orang yang pekerjaannya menjaga,” tukas Giyanto menjelaskan makna dari gelar tersebut. Pangkatnya sendiri sejajar dengan Daldiri, yaitu mantri.

Seperti layaknya para juru kunci yang lain, kesehariannya membersihkan makam dan melayani peziarah. Lelaki yang juga bekerja sebagai buruh tani ini, tinggal di Desa Ukirsari, Imogiri.

Anak sulung Giyanto juga mengikuti jejaknya sebagai abdi dalem juru kunci. Anaknya sendirilah yang berkeinginan menjadi seorang juru kunci. “Sekarang dia baru satu tahun magang,” ucap Giyanto. Ia sendiri sebenarnya menginginkan anaknya langsung diangkat tanpa proses magang.

Di Makam Imogiri kegiatan rutin juru kunci setiap tahun adalah Nguras Kong atau enceh. Pelaksanaannya pada bulan Syuro hari Selasa kliwon atau Jumat Kliwon. Prosesi pengurasan gentong tempat berwudhu ini dilakukan oleh keluarga keraton, para juru kunci, baru masyarakat awam. Air dalam enceh tersebut dipercaya dapat memberi kebaikan dalam kehidupan.

Menurut penuturan Giyanto, para peziarah yang datang jarang melanggar peraturan yang diterapkan. Selama menjadi juru kunci, hanya satu peristiwa yang membuatnya tidak berkenan dihati. Beberapa tahun silam, ada seorang pemuda yang datang berziarah ke makam. Setelah membagikan uang pada juru kunci, ia kemudian lari-lari diatas pagar makam dan tiduran di atap makam. “Tingkah lakunya kayak orang gila,” ujar Giyanto. Pemuda tersebut juga memecah kaca-kaca di makam Hamengkubuwono IX. Oleh para juru kunci dan masyarakat sekitar, lelaki ini kemudian ditangkap dan dipukuli. Anehnya, darah yang keluar bisa hilang dalam sekali usapan. Para juru kunci kemudian bersikap biasa saja terhadap peristiwa tersebut.

Meskipun jumlah juru kunci Makam Imogiri dan Kotagede lebih dari seratus orang, mereka tidak mempunyai paguyuban juru kunci makam keraton secara resmi. Walaupun begitu, rasa memiliki terhadap keraton telah mengikat para juru kunci kedalam persaudaraan yang kokoh.

Filosofi orang Jawa, Nrimo ing Pandum, atau menerima apa adanya, rupanya dipegang erat oleh para juru kunci. Mereka tidak pernah menyesal atas kehidupan yang mereka tempuh. Pekerjaan yang ingin mereka jalani sampai akhir hayat ini, menjadi gambaran falsafah hidup mereka.

Nilai keprojoan atau kedudukan sebagai abdi dalem keraton bisa jadi merupakan salah satu alasan seseorang bekerja di komplek –komplek makam keraton tersebut. Tapi nilai pengorbanan dan pengabdian, itu hal yang sulit ditemukan di sela-sela kehidupan Kota Yogyakarta, setidaknya pada masa ini.

Selesai melihat bangunan makam yang rusak, saya pun pulang. Menuruni tiap anak tangga trap sewu makam Imogiri. Menelaah kembali cermin kecil tempat merefleksikan kehidupan : sebagai juru kunci.

Ngomong-ngomong sudah setahun lebih tulisan ini saya buat. Banyak kekurangan di sana-sini. Masih kurang jeli dalam penggambaran dan harus lebih merinci hal yang tidak biasa. Gaya penulisan pun terkesan semau saya. Tapi saya sangat menghargai proses. Silahkan dikritik. Saya akan amat sangat menghargainya

No comments: